FEATURE

Cinta dan Demokrasi Kita yang Ringkih

Sumber gambar : Finansial Times Dari Simposium Plato hingga The Second Sex karya Simone de Beauvoir, para filsuf dan pemikir politik berulang kali be…

Masa Depan Fashion Ramah Lingkungan: Melihat-Dilihat dalam Politik Sekali Pakai

Post a Comment

Sumber Foto: thenurwardrobe.com

"Don't be into trends.

Don't make fashion own you, but you decide what you are,

what you want to express by the way you dress and the way to live."

—Gianni Versace

Mengapa Penting?

Topik ini ditulis dengan dua kepentingan antara lain: Pertama, membongkar penetrasi kapitalisme (dan neoliberalisme) yang menjadikan kecepatan sebagai cara dominan model produksi, distribusi, dan konsumsi (speed as power) terutama dalam industri fast fashion. Sudah banyak teoretisi membahas ideologi tersebut diantaranya Paul Virillio dalam bukunya Speed & Politics (1986). Bagian ini juga termasuk dampak buruk dari impor pakaian bekas (thrifting) yang membanjiri Indonesia dalam beberapa periode terakhir. Kedua, mengarusutamakan slow fashion dan/atau sustainable fashion sebagai kerangka pikir dan kebijakan alternatif untuk mendukung keberlanjutan lingkungan, kemandirian ekonomi lokal, dan revitalisasi nilai budaya.

Bertolak dari dua urgensitas di atas, artikel ini menawakan beberapa pokok pikiran antara lain: Pertama, pentingnya gerakan alternatif baik secara personal maupun komunitas untuk mengkampanyekan slow fashion sebagai narasi tandingan. Untuk itu, kerja sama lintas gerakan dibutuhkan untuk memperluas daya cakup dan sphere of influence kampanye. Kedua, pentingnya insentif kebijakan pemerintah untuk mendukung kemandirian UMKM lokal yang bergerak di sektor slow fashion.

Kisruh Impor Pakaian Bekas: Politik Sekali Pakai

Meskipun ada Peraturan Mendag No 40/2022 dan Permendag No 18/2021, BPS periode 2022, mencatat nilai impor baju bekas mencapai 26,22 ton dengan nilai US$272.15, meningkat 230,40% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebanyak 7,94 ton dengan nilai US$44,14. Meskipun presiden (linkmaupun eksekutif berdalil bahwa gejala itu menganggu kemandirian industri dalam negeri, hingga saat artikel ini ditulis, belum ada satu kebijakan konkret yang dikeluarkan. Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki malah berargumen bahwa pemerintah tidak melarang aktivitas thrifting melainkan kegiatan impor dan penyelundupan (link). 

Secara umum fokus perdebatan masih pada level legal-nonlegal dari aktivitas thrifting, dampak pakaian bekas bagi kesehatan, dan pengaruhnya bagi kemandirian industri dalam negeri, namun pada saat yang sama volume impor masih signifikan. Mengatasi gejala ini, dilakukan pemusnahan pakaian bekas di sejumlah tempat. Kemendag misalnya melakukan pemusnahan massal terhadap pakaian bekas impor di Karawang dan Sidoarjo dengan total volume 1.554 bal dengan perkiraan nilai total Rp20 miliar (linkpersis di tengah ada peluang bertumbuhnya industri kreatif fashion ramah lingkungan yang memanfaatkan pakaian bekas.

Namun soalnya bukanlah di situ. Akar dari soal ini yakni masih dominannya industri fast fashion yakni model produksi industri pakaian yang bergerak sangat cepat, dengan produksi skala besar, mengutamakan koleksi terbaru untuk diluncurkan setiap minggu, dan dijual dengan harga relatif murah. Tentu saja, cara produksi seperti itu berdampak buruk baik secara onngkos sosial maupun lingkungan. Bagian ini berbicara tentang proses produksi yang menggunakan bahan kimia berbahaya seperti pewarna azo, formaldehina dan nonifenol etoksilat (NPE). Selain itu, banyak bahan pakaian yang terbuat dari campuran serat yang sulit terurai. Permintaan yang tinggi akan serat alami misalnya akan menyebabkan pembukaan lahan pertanian kapas baru. Apalagi proses produksinya masih menggunakan energi fosil dalam mengoperasikan mesin dan peralatan. Tidak mengherankan jika Komisi Ekonomi Eropa PBB mencatat bahwa setiap tahun industri fashion menyumbangkan tak kurang dari 20% limbah air bumi dan 10% dari emisi karbon dioksida di bumi (link). 

World Clean Up Dat, juga mencatat bahwa fast fashion menyumbangkan banyak limbah yang mengakibatkan pencemaran lingkungan. Terdapat sekitar 92 juta ton limbah tekstil yang diproduksi oleh industri fashion tersebut di setiap tahunnya. Tidak berhenti di situ, menurut penelitian yang dilakukan YouGov, bahwa 66 persen masyarakat dewasa di Indonesia membuang sedikitnya satu pakaian mereka dan 25 persen membuang lebih dari 10 pakaian mereka dalam setahun. Belum lagi, 41 persen millenial Indonesia menjadi konsumen produk fast fashion terbesar (link). Atau merujuk pada Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2022, persentase sampah kain tercatat mencapai 2.593 ton atau 2 persen dari 19,9 juta ton sampah. Rata-rata, dalam penelitian lain, disebutkan perilaku masyarakat dalam membuang sampah tekstil pascakonsumsi sebagian besar atau 62,389 dibuang ke tempat sampah tercampur, 1,45% membuang ke sungai, kali, dan saluran pembuangan, sebanyak 13,99% membakarnya, serta 0,48% membuang ke tempat lain (Media Indonesia, 20 April 2023, halaman 12).

Selain mencemari lingkungan, beberapa perusahaan di industri ini cenderung mempekerjakan pekerja berusia muda, bahkan di bawah umur, dengan gaji yang minim dan beban kerja yang berat. Kebanyak pekerja (wanita) justri tinggal di daerah yang paling terdampak perubahan iklim, terutama di Global South (link). Bangladesh, pengekspor pakaian jadi terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan Vietnam, misalnya, menghadapi ancaman banjir berbeda setiap tahun karena perubahan iklim (World Trade Statistical Review 2021). 

Terkait ekspoitasi pekerja, ada sebuah artikel penting bertajuk Masalah Perbudakan Modern di Industri Fashion yang diterbitkan di Laruna.id. Penulis artikel, Levina C Theodora mengutip Laporan Fashion Transparency Index 2022 bahwa 94% merek tidak mempublikasikan upah layak pekerja secara tahunan dan 96% tidak mempublikasikan jumlah pekerja dalam rantai pasokan. Itulah mengapa berbicara tentang fashion, berarti berbicara tentang politik, something more than fashion, melampaui pakaian dan desain. Dalam bukunya Stitched Up: The Anti-Capitalist Book of Fashion (Couterfire) terbitan Pluto Press (2014) Tansi E Hoskins berargumen bahwa kapitalisme bertumbuh dan berkembang dengan membutuhkan kebaruan yang konstan agar penjualan tetap terjaga; dan industri fashion memberikan peluang untuk itu. Tidak peduli berapa banyak nyawa, ongkos sosial dan ekologis yang dikorbankan. Dalam kosa kata psikoanalis, Tansi menulis, “fashion menjelma metafora yang kuat untuk menyamarkan, mengungkapkan, dan menghubungkan ‘identitas’ manusia”. 

Dengan kata lain, ketika berbicara tentang industi fashion alternatif, kita tidak sekadar berbicara tentang slow fashion dan sustainable semata, melainkan juga tentang ethical fashion: siapa kelompok masyarakat yang memproduksi pakaian yang Anda kenakan. Terkait ini, saya teringat kutipan dari Candide karya Voltaire. Dalam salah satu adegan Candide sampai ke sebuah koloni Belanda. Di sana ia bertemu dengan seorang Negro yang cuma bertangan satu, berkaki satu dan berbaju compang-camping. Budak itu menjelaskan: 

Jika kami kerja di pabrik gula, dan jari kami tersangkut mesin, mereka akan memotong tangan kami. Dan kalau kami mencoba lari, mereka akan memotong kaki kami . . . Itu harga gula yang tuan makan di Eropa.

Dunia “Melihat-Dilihat”

Melihat dan dilihat telah menjadi mekanisme permanen dalam domian sosial politik masyarakat hari ini di mana penetrasi teknologi digital telah berlangsung dalam skala yang sangat masif. Menjamurnya berbagai platform digital yang mewajibkan “visibility” baik dalam proses pendaftaran maupun penggunaannya membuat aspek ini muskil dihindari. Persis dalam konteks inilah, membahas fashion lingkungan tidak bisa dilepaspisahkan dari konteks penetrasi kapitalisme finansial dalam bentuknya economic digitalism. Jean Baudrillard (1995) dalam bukunya Simulacra and Simulation menjelaskan secara baik mengenai pergeseran proses produksi yang bermuara pada pergeseran nilai dari nilai guna dan nilai tukar menjadi nilai tanda. Efek terdekat yang dapat disaksikan secara kasat mata yakni sebuah benda tidak lagi ditentukan melalui kegunaannya secara konkret melainkan pada sejauh mana nilai itu menandakan signifikansinya dalam relasi sosial. Dalam aras inilah, fashion sebagai sebuah produk sosial, ekonomi, dan budaya dibahas. Bahwa kegunaan pakaian, selain untuk membungkus tuhuh manusia, ia juga berperan membungkus dan menciptakan identitas seseorang.

Tanpa disadari, pakaian umumnya mengandung nilai yang bervariasi dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain. Disebut demikian karena nilai yang dimaksudkan di sini cenderung beroritenasi secara kolektif. Di Flores Timur misalnya, atau mungkin juga di daerah lain, kain tenun bagi masyarakat setempat berperan bukan hanya sebagai atribut yang membungkus tubuh seseorang, melainkan lebih dari itu menjadi perekat sosial. Itulah mengapa terdapat berbagai jenis motif yang menggambarkan identitas kultural yang meneguhkan persatuan sekaligus membedakan kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain. Selain berfungsi secara sosial, kain tenun juga menggambarkan dimensi kultural yang terkandung dalam motif yang dipakai. Terdapat penghargaan terhadap kosmologi tertentu di mana nilai itu dihayati.

Seperti yang sudah disentil pada awal artikel ini, masalah muncul ketika nilai pakaian ditentukan berdasarkan market mechanism semata. Kemahakuasaan pasar menjadi standar utama yang menentukan apakah sesuatu itu berguna atau tidak berdasarkan logika surplus of value. Akibatnya, pakaian yang awalnya kaya dengan nilai religiositas kini menjelma semata-mata sebagai nilai ekonomi. Tidak berhenti di situ, pakaian yang awalnya digunakan sebagai sarana untuk menjaga kohesivitas dan soliditas sosial, orientasinya diubah menjadi sekadar tanda pembeda sosial politik melalui logika perbedaan (logic of difference). Artinya, mengutip analisis Jean Baudrillard, pakaian yang awalnya berfungsi sebagai sarana membungkus tubuh manusia, kini bertansformasi menjadi sarana peneguhan identitas seseorang atau sekelompok orang. Mengenakan pakaian selalu berarti mengenakan sesuatu untuk dilihat. Ada kepuasan psikis di sana yang dianggap jauh lebih penting, tidak peduli dari mana, siapa saja yang terlibat di dalamnya, dan dengan cara apa, pakaian itu diproduksi.

Peluang: Gerakan Personal & Pendekatan Sistemik

Alih-alih menolak secara total industri fashion, di bawah ini dijabarkan dua model peluang yang bisa disiasati antara lain:

Pertama, munculnya gerakan individu dan komunitas yang menginisiasi Fashion Ramah Lingkungan atau dalam banyak kesempatan disebut sebagai Sustainable Fashion, atau bisa juga disebut Slow Fashion (antitesis dari Fast Fashion).

Meskipun demikian, perlu diketahui bahwa dalam fashion, brand memainkan peran penting dalam memikat konsumen. Survei Populix yang dipublikasikan dalam “Indonesia in 2022: Looking At Fashion Trends & Economy Revival” menunjukkan menampilkan beberapa informasi penting terkait orientasi konsumen baik terhadap brand maupun jenis fashion yang disukai. Survei itu dilakukan terhadap 1.013 responden yang terdiri dari 500 responden laki-laki dan 513 responden perempuan berusia 18-55 yang tinggal di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, dan Semarang.

Di samping itu juga, survei tersebut menunjukkan bahwa gaya busana pilihan responden yang populer pada tahun 2022 yakni Simpe (73%), Kasual (68%), Formal (35%), Sporty (35%), dan Vintage (22%). Artinya, kombinasi antara orientasi terhadap brand dan gaya busana merupakan informasi penting dalam mendukung langkah gerakan alternatif mempromosikan Sustainable Fashion.

Pentingnya inisiasi yang dilakukan oleh individu diantaranya yang tercatat yakni: yang dilakukan oleh Angelina Jolie melalui label model “Atelier Jolie”. Melalui akun Instagramnya, ia menyebut bahwa Atelier Jolie merupakan wuduj dukungan aktris pemenang Oscar itu terhadap industri mode berkelanjutan dan ramah lingkungan (link). Hal serupa juga digaungkan dalam Russia Islamic Wolrd Kazan Forum yang diikuti juga oleh perwakilan Indonesia, Sanet Sabintang yang mengusung penggunaan kain sisa atau perca sebagai wujud mendukung sustainable fashion. Diketahui, Sanet dengan bran Sabin dikirim oleh Indonesia Fashion Cahmber (IFC) untuk menjadi pembicara utama dalam forum tersebut. 

Hal yang sama juga dilakukan oleh Setali Indonesia dalam iven Break The Pattern Workshop Electrolux X Setali Indonesia di Jakarta 2022 lalu. Extrolux misalnya membuat inovasi pada produk mesin cucinya Ultramix agar dapat merawat kain dan mempertahankan warna baju lebih lama (link). Kesadaran akan pentingnya keberlanjutan lingkungan membuat produsen serat viscose-rayon PT Asia Pasific Rayon (APR) misalnya memberangkatkan dua desainer perempuan untuk belajar imu formal di IFI Bandung (link). 

Kesadaran ini juga menyasar lingkungan akademik. Mahasiwa Prodi Fashion Product Design & Business Universitas Ciputra Surabaya misalnya mengubah limbah sampah menjadi karya sesain baju yang menarik yang ditampilkan dalam pameran Fashionology (Laruna.id). Tidak berhenti di situ, pelajar SMAN 81 Jakarta bahkan menjuarai Kompetisi Bisnis tingkat Asia Pasifik di mana mereka membawa lini produk fashion ramah lingkungan dengan mendaur ulang 700 kg limbah bank bekas (link).

Berhadapan dengan peluang tersebut, apa yang harus dilakukan? Pertama, tanyakan ini: Siapa yang Membuat Pakaianku, apa saja yang terkandung dalam pakaian yang aku kenakan? Bagaimana sebuah perusahan memproduksi pakaian yang kukenakan? Apakah risiko lingkungan dan sosial yang diakibatkan dari proses produksi dan distribusinya? Kedua, kenakan pakaian yang Anda miliki dan jangan buang itu. Temukan caramu sendiri untuk menjadi modis tanpa harus terpengaruh dengan logika “melihat dan dilihat” dalam sistem psiko-ekonomi hari ini. You are modest just the way you are! Ketiga, lakukan kampanye lanjutan untuk mendorong pengenalan atau literasi terkait hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang memadai tentang proses produksi sebuah produk (dalam hal ini fashion) yang berkelanjutan dan ramah lingkungan; juga apa yang harus Anda lakukan dengan pakaian bekasmu.

Kedua, Pentingnya Insentif Pemerintah.

Besarnya kontribusi industri fashion bagi eksistensi ekonomi kreatif di Indonesia tidak berjalan sejajar dengan insentif dari pemerintah. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan pasar industri fashion sangat luas serta memiliki tren yang sangat dinamis. Industri ini telah memberikan kontribusi besar terhadap sektor ekonomi kreatif karena menguasai 17 persen ekonomi kreatif di Indonesia (link). Namun, belum ada perhatian yang serius dari pemerintah berkaitan dengan bagaimana memberikan insentif yang memadai, jangankan bagi industri fashion secara umum, di sektor sustainable fashion nyaris tak ada.

Tentu gejala ini bukan hanya di Indonesia. Secara global, Konferesi Perubahan Iklim COP 27, bahkan kurang menaruh perhatian serius pada industri fast fashion dalam agendanya. Bagian paling penting yakni pertumbuhan baik finansial maupun volume produksi tahunan industri fashion justru absen dibincangkan. Hanya 14% (34 merk) yang mengungkapkan jumlah produk yang diproduksi setiap tahun (link). Kurangnya regulasi yang mengatur industri mode dan kerusakan yang ditimbulkannya membuat Hilary Jochmans misalnya mendirikan PoliticallyinFashion sebuah komunitas advokasi untuk semua agen fashion untuk menyebarkan isu legislasi yang penting bagi industri.

Memang, dua pendekatan yang sudah disebutkan di atas mesti berjalan beriringan. Cukup sulit jika kita hanya mengharapkan pemerintah dalam mendukung sektor ini. Sebaliknya, terus menerus mengglorifikasi inisiatif pribadi/komunitas tanpa ada daya dukung dalam legislasi dan politik malah memperlemah posisi kita dalam pasar global.

Yohanes W Hayon
Malas makan, rakus membaca, minder bertemu perempuan cantik, dan ingin menjadi dongeng

Baca juga

Post a Comment

Arsip Juara Kompetisi