"Agama tidak mati-mati. Tetapi juga sekularisasi.
Jangan-jangan kedua sebenarnya tidak bertentangan". Demikian tulis penyair dan budayawan, Goenawan Mohamad
(Tempo, 12/12/10).
Kegelisahan ini selaras dengan pencarian penyair fenomenal
Joko Pinurbo (Jokpin) dalam puisinya Toilet I (1999). Toilet merupakan
formulasi ketersembunyian, keterbelakangan, konservatif, dan beraroma privat.
Mengunjungi toilet berarti menemukan identitas diri orang lain, menguyah corak hidup mereka yang tersirat di dalamnya, dan menginterpretasi keunikan tertentu yang dilestarikan. Karena alasan tersebut, toilet senantiasa menjadi sorotan utama dalam aneka perbincangan, menempatkannya pada sebuah status dilematis.
Mengunjungi toilet berarti menemukan identitas diri orang lain, menguyah corak hidup mereka yang tersirat di dalamnya, dan menginterpretasi keunikan tertentu yang dilestarikan. Karena alasan tersebut, toilet senantiasa menjadi sorotan utama dalam aneka perbincangan, menempatkannya pada sebuah status dilematis.
Kriteria sebuah rumah yang baik dan sehat tidak terlepas dari adanya toilet
mengisyaratkan bahwa tidak ada negara tanpa agama.
Ia sangat mencintai toilet lebih dari bagian-bagian
lain/rumahnya/Ruang tamu boleh kelihatan suram, ruang tidur/boleh sedikit
berantakan, ruang keluarga boleh/agak acak-acakan, tapi toilet harus dijaga
betul keindahannya/dan kenyamanannya. Toilet adalah cermin jiwa, ruang
suci,/tempat merayakan yang serba sakral dan serba misteri
Agama: ruang privat(?)
Indonesia sebagai sebuah negara plural dalam berbagai bentuk
senantiasa dihadapkan pada kecemasan yang luar biasa (jika tidak disebut
sebagai tantangan). Masing-masing kelompok kontingen menjaga kepentingannya
dari tatapan asing orang lain.
Bertahun-tahun kita mengembara mencari wajah asli kita/padahal
kita dapat dengan mudah menemukannya,/yakni saat bertahta di atas lubang
toilet./Karena itulah, barangkali, kita mudah merasa waswas/dan terancam bila
melihat atau mendengar kelebat orang/dekat toilet, karena kita memang tidak
ingin ada orang lain/mengintip wajah kita yang sebenarnya
Ketika terjadi aneka kesenjangan sosial dan ketakteraturan
hidup, pertanyaan pertama yang diutarakan selalu berorientasi pada agama. Agama
menjadi sorotan utama mengapa hal destruktif tersebut menjadi mungkin. Begitu
pun sebaliknya, sikap cemburu dan pertentangan semakin menguat akar apabila
hadirnya orang lain menjadi pengganggu keselarasan hidup dalam konteks hidup
agama tertentu.
Orang lain dilihat sebagai negasi kebebasan diri atau oleh
Jean Paul Sartre sebagai neraka. Tidak heran jika realitas intoleransi kian
marak dan meningkat setiap tahun. Direktur The Wahid Institute, Zannuba Arrifah
Chafsoh Rahman Wahid alias Yeni Wahid mengatakan setidaknya selama tahun 2012
terjadi 274 kasus dan 363 tindakan pelanggaran kebebasan beragama. Jumlah itu
meningkat dibandingkan dengan tahun 2011 dengan 267 peristiwa, 2010 184
peristiwa dan 2009 121 peristiwa (Kompas, 29/12/12).
Fakta di atas setidaknya menegaskan beberapa hal. Pertama,
Indonesia sebagai begara pluralis yang sukses menjalankan nilai-nilai
toleransi, tidak lagi relevan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menerima
penghargaan dalam bidang toleransi hanya sebatas sebuah atribut saja.
Kedua, bergesernya paradigma ruang punlik dan ruang privat.
Sikap intoleransi disebabkan oleh kurang memadainya pemahaman yang tepat dalam
membedakan wilayah cakupan masalah privat dan masalah publik.
Jokpin mengatakan: Demikianlah, ketika saya bertandang ke rumahnya/tanpa
saya tanya ia langsung berkata: "Kalau mau ke toilet,/terus saja lurus ke
belakang, putar sedikit ke kiri,/kemudian belok kanan."
Memasuki toilet tanpa melalui koridor yang tepat dapat
memicu terjadinya realitas intoleransi akut karena lokasi toilet diprivatisasi.
Oleh sebab itu, sikap bijak dengan cara passing over mutlak dibutuhkan.
Agama dan Demokrasi
Membaca puisi Toilet I ini, saya teringat akan sajak Cermin
I (1982) karya Sapadi Djoko Damono berikut: Cermin tak pernah berteriak;/ia pun
tak pernah meraung, tersedan, atau terhisak,/meski apa pun jadi terbalik di
dalamnya;/barangkali ia hanya bisa bertanya:/mengapa kau seperti kehabisan
suara?
Sebagaimana toilet, kita cenderung menolak menjadi tua di
depan sebuah cermin dan lupa bahwa di tengah universalitas, toilet bukanlah
satu-satunya tempat bercermin. Dalam sebuah negara demokrasi, agama tidak dapat
direduksi kepada demokrasi atau pun sebaliknya. Agama mengurus akar kejahatan
manusia dan berusaha agar manusia dari hari ke hari sempurna secara moral serta
menjauhi kejahatan.
Demokrasi hanya dapat mengatur dan mencegah agar manusia
dalam kerapuhan dan kejahatannya tidak merugikan orang lain (Bdk. Otto Gusti
Madung, Hak-Hak Asasi Manusia, 2003: 30). Agama (Toilet) dan demokrasi (Rumah)
memang memiliki kesamaan secara fundamental, namun berbeda secara substansial.
Seseorang dapat saja saleh secara religius namun tidak
menjadi jaminan mutlak bahwa ia memiliki kualitas moral publik yang tinggi.
Pada bait III, Jokpin menulis: Mungkin ia bermaksud memamerkan/toiletnya yang
memang mewah. Begitu saya keluar dari toilet,/ia bertanya: "Dapat berapa
butir?"
Post a Comment
Post a Comment