Neoliberalisasi Masyarakat Adat

Post a Comment

Sumber gambar: Foto 1 diambil dari greeners.co. Foto 2 dari dokumentasi AMAN tentang Panen semangka di ladang Masyarakat Adat Batin Beringin-Sakai. Foto 3 diambil dari Facebook/Dok. Balai Taman Nasional Kayan Mentarang. Foto 4 diskusi masyarakat adat Nusantara/Walhi.
Dilema Umum

Esai ini ditulis persis ketika saya dan beberapa teman yang tergabung dalam Eco Blogger Squad mengikuti Online Blogger Gathering, Jumat (14/4). Iven itu menghadirkan pembicara dari Walhi Indonesia Perwakilan Sulsel. 

Beberapa insight penting yang menjadi concern diskusi coba saya jabarkan dalam tulisan ini secara tematik yang bertujuan menjelaskan mekanisme intervensi kebijakan pembangunan terhadap eksistensi masyarakat adat di Indonesia. Dengan mengambil beberapa contoh kasus, esai ini berargumen bahwa perjuangan masyarakat adat hanya akan solid jika didukung dengan penguatan kapasitas organisasi, basis ideologi gerakan, dan kebiasaan membuat komparasi isu dan metodologi gerakan.

Sebelum membahas lebih jauh, pertama-tama dipaparkan sekurang-kurangnya empat dilema umum yang menjadi pusat perhatian dan kegelisahan masyarakat adat di Indonesia yang bisa diringkas ke dalam beberapa poin penting antara lain:

Pertama, intervensi bisnis tourisme. Bagian ini merupakan titik krusial yang mesti menjadi catatan penting yang didesiminasikan ke berbagai kalangan. Kasus yang berkaitan langsung dengan bisnsi tourisme terkni berada di Labuan Bajo yang digadang-gadang pemerintah menjadi daerah bisnis Pariwisata Super Premium dengan diberi label “10 Bali Baru”. Imbas dari kebijakan rezim pemerintah pusat tersebut, diantaranya meningkatnya penetrasi pembangunan infrastuktur sekaligus pendepakan warga lokal. 

Land grabbing menjadi isu lain yang menjadi penting untuk dibahas dalam konteks tersebut. Gereja Katolik yang digadang-gadang menjadi tempat lahirnya perlawanan misalnya, justru berdiri pada garda paling depan memuluskan rencana pemerintah tersebut (detik.com, 12 April 2023). Tidak berhenti di situ, Keuskupan Manggarai justru mencetuskan istilah “Pariwisata Holistik” sebagai topeng untuk mendukung rencana pemerintah tersebut terutama melalui Festival Golo Koe (anatranews.com, 9 Agustus 2022). Tentu saja, ilustrasi di atas belum termasuk ratusan bahkan ribuan daerah pesisir pantai di NTT yang disulap menjadi destinasi wisata paska dibentuknay Badan Pelaksana Otoritas Labuan Bajo Flores (BPOLBF) sebagai satuan yang bekerja langsung di bawah Kemenparekraf (selengkapnya baca Perpres-nya di sini: BPK RI).

Kedua, ekspansi tambang ekstraktif. Bagian ini merupakan kisah buruk lain yang tingkat perlawanan terhadapnya tidak mudah. Disebut demikian karena pada umumnya pihak yang “bermain” di sektor ini memiliki posisi yang cukup kuat untuk memengaruhi keputusan-keputusan politik negara.

Ketiga, intervensi pembangunan infrastruktur strategis negara. Bagian ini termasuk pembangunan tol, jalan raya, dan berbagai jenis bangunan lain berdasarkan program prioritas pemerintah. Terlampau menekankan dampak pertumbuhan ekonomi, pembangunan proyek strategis nasional justru mengabaikan eksistensi masyarakat adat dan keberlanjutan lingkungan hidup. 

Di IKN misalnya, jangankan peduli pada lingkungan, biaya ganti rugi lahan saja pengurusannya berbelit-belit (bisnis.com, 10 April 2023). Apalagi menurut pengakuan warga Suku Balik bernama Dahlia, proses pembahasan UU IKN yang sangat vital bagi negara itu terkesan buru-buru dan kurang melibatkan masyarakat dalam pembahasan termasuk janji yang gagal terwujud terkait pemberdayaan warga lokal. (apahabar.com, 11 April 2023). 

Sebagai informasi, IKN dibangun dengan mengusung konsep Future Smart Forest City di atas lahan seluas 256.000 hektare. Mengenai hal yang sama, Sosiologi Universitas Mulawarman Sri Murlianti menilai kearifan lokal Suku Balik tergerus karena proyek tersebut diantaranya ritual penyembuhan, ritual membuka ladang serta resep-resep obat herbal.

Keempat, dominannya seremonialisme. Bagian ini sudah menjadi “penyakit” akut yang menjangkiti bukan hanya penyelenggara negara melainkan juga cara berpikir masyarakat secara keseluruhan. 

Dalam cara pandang tersebut, “adat” dan “masyarakat adat” dipahami hanya sebatas pada busana, makanan dan minuman (kuliner), dan atraksi budaya (tarian), serta arsitektur (bangunan). Normalisasi cara pandang seperti itu membuat banyak pejabat negara cenderung merepresentasikan perhatiannya pada masyarakat adat dan eksistensi adat hanya sebatas pada atribut artifisial semata. Tidak peduli apakah kemudian kebijakan yang dihasilkan benar-benar berorientasi pada kepentingan masyarakat adat, desain politik Indonesia direkayasa sedemikian rupa agar menghindar dari tanggung jawab tersebut.

Cara Melawan: Kelebihan dan Keterbatasan

Model perlawanan yang paling umum dilakukan oleh masyarakat yakni menggalang konsolidasi baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, konsolidasi dilakukan dengan menghimpun warga yang merasa dirugikan oleh penetrasi kepentingan bisnis dan pariwisata. Sementara itu, konsolidasi eksternal dilakukan dengan cara menggalang kekuatan dengan melibatkan daerah sekitar dalam porsi yang tidak terlalu signifikan.  

Tentu saja gerakan semacam ini membawa dampak kasat mata namun bersifat terbatas, mudah dibubarkan, dan rentan dipolitisir. Bandingkan contoh dimana politisasi masyarakat adat di Kalimantan demi keberlanjutan proyek pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara padahal banyak penelitian yang menyebutkan bahwa Pembangunan Infrastruktur IKN berpotensi menggusur masyarakat adat dari tanah leluhurnya. Politisasi masyarakat adat juga berlangsung dalam kisruh Pemilu dan Pilkada di mana politisi memiliki kecenderungan membajak masyarakat adat demi kepentingan elektoral.

Sumber: Twitter @korantempo

Bentuk perlawanan lain yang umumnya digunakan yakni memanfaatkan jaringan dengan LSM. Meskipun beberapa gerakan perlawanan berhasil namun semua itu bergantung pada seperti apa LSM yang dipilih sebagai corong aspirasi. Maksudnya, tidak semua LSM memiliki daya gedor yang signifikan.

Bandingkan misalnya perlawanan masyarakat adat Talang Mamak di Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau yang terancam ekosistem hidupnya setelah masuknya perusahaan sawit. Dalam rangka memastikan keamanan eksistensinya, diupayakan agar mendapat pengakuan wilayah hukum sejak tahun 1997 namun belum berhasil. Bahkan ditempuh cara di mana masyarakat bahkan mengadu ke Rountable Sustainable Palm Oil (RSPO) di Kuala Lumpur, Malaysia namun belum juga maksimal (suarariau.co, 5 April 2023). 

Kasus serupa juga terjadi di Suku Moskona di Bintuni, Papua Barat. Menurut Tokoh Pemuda Piter Masakoda, sudah sekitar lima tahun ia menyaksikan bagaimana sawit menciptakan konflik di daerah kelahirannya. “Perusahaan sawit, itu kan izinnya dari pusat, turun ke sini. Masyarakat pribumi, mungkin lewat satu dua orang, sudah izinkan masuk. Akhirnya di sini kelapa sawit mengancam wilayah adat. Menghilangkan banyak hak-hak masyarakat adat atas tanah mereka, hutan yang ada di sini," kata Piter (voaindonesia.com, 13 april 2023).

Selain sawit, penetrasi juga muncul dari korporasi yang bergerak di sektor pertambangan. Kasus penangkapan 12 Masyarakat Adat Kampung Dingin, Kecamatan Muara Lawa, Kutai Barat, Kalimantan Timur merupakan topik yang hangat diperbincangkan netizen pada bulan April. Penangkapan disebabkan karena warga menolak penetrasi industry ekstraktif batubara PT Energi Batu Hitam (EBH) yang berbuntut kriminalisasi yang dilakukan oleh Polres Kutai Barat menggunakan pasal 162 UU Minerba karena dianggap menghalang-halangi dan merintangi kegiatan usaha pertambangan.

Sumber: @PakkatDayak

Kriminalisasi juga dialami oleh masyarakat Tobelo Dalam di Maluku Utara sebagaimana tersurat dalam postingan twitter AMAN.

Sumber: Twitter @rumahAMAN.

Sejauh penelusuran, terdapat beberapa alasan utama mengapa masyarakat adat menolak penetrasi korporasi antara lain: Pertama, perkebunan dan perusahan justru merusak tempat mereka mendapatkan hasil untuk menunjang kehidupan mereka setiap hari baik itu sebagai sumber makanan maupun untuk properti membangun rumah, dan lain sebagainya. Kedua, masyarakat adat memahami hutan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari hidup mereka. Dengan kata lain, hutan bukan hanya sebagai habitat keanekaragaman hayati melainkan juga sebagai komponen penting atau daya dukung utama kehidupan itu sendiri. 

Berdasarkan catatan akhir tahun Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Tahun 2023 yang diinformasikan oleh Direktur Yayasan tersebut, Fanky Samperante, terpantau deforestasi di Papua pada tahun 2022 seluas 19. 426 hektare dan seluruhnya berasal dari aktivitas bisnis pembalakan kayu dan perkebunan sawit. Ironisnya, ketika melantik pengurus Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) di Jakarta, Rabu (12/4), Wapres Ma’ruf Amin justru menyebut sawit nasional berkontribusi positif (Kompas.com, 4 Maret 2023).

Terdapat juga jenis perlawanan dengan cara memanfaatkan forum internasional diantaranya The United Nations Permanet Forum on Indigenous Issues (UNPFII) atau Forum Tetap untuk Isu-Isu Masyarakat Adat yang berlokasi di New York, Amerika Serikat. 

Baru-baru ini, mewakili Indonesia, hadir Nukia Evanty dari Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) dalam pertemuan tersebut 17-18 April 2023. Forum ini disebut penting karena Data dari International Working Group for Indigenous Affairs (IWGIA) menyebutkan Indonesia sebagai rumah bagi 50-70 juta masyarakat adat atau 18-19% dari seluruh populasi penduduk Indonesia (liputan6.com, 16 April 2023). 

Selain forum internasional, perlawanan juga dilakukan dengan memanfaatkan platform media sosial. Meskipun cenderung menghasilkan dampak positif serba cepat namun roh atau semangat gerakan cenderung tidak berkelanjutan dan momentual. Gerakan di media sosial sudah banyak dikritik teritama karena minimnya basis organik yang terstruktur, bergantung pada selera dan nyaris tanpa ideologi perlawanan yang jelas melainkan hanya sebatas “rasa kasihan” sesaat.

Skenario Alternatif

Gerakan perlawanan yang dilakukan selama ini kurang mendapat daya gedor yang signifikan karena keterbatasan jangkauan dan pendanaan. Selain itu, Indonesia juga minim pengalaman gerakan berbasis ideologi organik yang memungkinkan sebuah gerakan bisa bertahan secara berkelanjutan.

Untuk mengantisipasi keterbatasan seperti itu, terdapat beberapa skenario alternatif yang bisa menjadi bahan pertimbangan antara lain:

Pertama, pentingnya membangun gerakan lintas generasi. Bagian ini penting dilakukan persis ketika masing-masing generasi berdiri sendiri, berjarak, tidak bersentuhan, bahkan saling bertentangan. Kedua, gerakan lintas daerah yang memungkinkan adanya komparasi gerakan di mana boleh jadi problem yang terdapat di sebuah daerah dialami juga oleh masyarakat di daerah lainnya. Berdasarkan ilustrasi yang sudah dijabarkan di atas misalnya, problem intervensi korporasi dan land grabbing nyaris terjadi di hampir semua wilayah di Indonesia yang menjadi daerah sasaran objek pembangunan nasional. Jika demikian, mengapa daerah-daerah ini cenderung menyuarakan isu yang berdiri sendiri tanpa keterhubungannya dengan daerah lain? 

Ketiga, gerakan lintas kepentingan. Bagian ini juga perlu menjadi perhatian khusus persis ketika gerakan umumnya lahir dari kepentingan yang bersifat sangat parsial, mewakili kelompok masyarakat tertentu saja. Artinya, perlu dilakukan identifikasi kepentingan di masing-masing sektor guna merumuskan kepentingan bersama yang jauh lebih besar. Bagian ini tentu butuh imajinasi dan metode desiminasi gagasan yang tidak mudah dilakukan dalam waktu singkat. 

Keempat, gerakan lintas disiplin ilmu. Bagian ini menjadi poin penting terutama bagi lembaga pendidikan dan peserta dididik di berbagai jenjang. Disebut penting karena selama ini pendidikan baik sebagai lembaga maupun sebagai cara hidup terjebak dalam sektoralisme disiplin ilmu. Jika diilustrasikan, mahasiwa yang belajar aristektur perlu juga belajar sosiologi dan ilmu politik agar tidak dengan begitu mudah menyetujui desain bangunan yang akan didirikan di atas lahan sengketa yang menggusur hak-hak masyarakat adat.


Yohanes W Hayon
Malas makan, rakus membaca, minder bertemu perempuan cantik, dan ingin menjadi dongeng

Baca juga

Post a Comment

Arsip Juara Kompetisi