Tata Kelola Sampah Makanan

Post a Comment

Aku berpuasa bukan karena keinginan untuk masuk surga. Kakek mengajarkanku berpuasa untuk menahan keinginan dan melihat sejauh mana aku dapat bertahan

—N.H Dini dalam "Sebuah Lorong di Kotaku".

Akar dan Urgensi

Diskusi tentang sampah dan penanganan sampah cenderung bertolak dan berorientasi dari dan pada dua kategori utama yakni tanggung jawab individual dan tanggung jawab bersama. Pada yang pertama, individu dianggap sebagai akar dari permasalahan sampah baik itu rendahnya kesadaran dan tanggung jawab menjaga kebersihan lingkungan hingga buruknya manajemen sumber daya manusia dalam lingkup privat seperti keluarga. Sementara itu yang kedua menyoroti komunitas baik skala kecil maupun besar (katakanlah negara) yang tidak memiliki strategi yang tepat untuk mengatur dan mengorganisasi kehidupan bersama.

Tanpa harus berpretensi menunjukkan mana pendapat yang paling tepat, artikel ini coba menjelaskan akar soal yang menjadi penyebab pertama kekisruhan dan kekeliruan tata kelola persampahan baik di lingkup domestik maupun negara. Dengan menunjukkan sejumlah bentuk inisiatif tata kelola yang muncul di berbagai daerah di Indonesia, ditemukan empat dimensi utama yang menjadi fokus artikel ini antara lain:

Pertama, dimensi ekonomi politik yang berupaya membongkar mekanisme kepengaturan dalam rezim neoliberalisme yang melepaskan korporasi dari tanggung jawabnya mengelola lingkungan. Bagian ini dapat diamati dalam beberapa daerah di Indonesia yang diintervensi oleh masuknya industri pariwisata di Pulau Bali khususnya di Nusa Lembongan (— aljazeera.com, 1 Maret 2023). Dampak langsung dari dominannya neoliberalisme melalui pertumbuhan ekonomi yang meningkatnya daya beli, berimbas pada dominannya level konsumsi masyarakat. Konsumsi dengan demikian berarti menghabiskan energi baik dalam proses produksi makanan maupun dampak sampah yang ditimbulkannya. Atau jika dibahasakan secara berbeda, mustahil membicarakan sampah tanpa melibatkan pengamatan dan analisis yang mendalam terhadap rantai produksi, distribusi, konsumsi dan paska konsumsi. Selain penerapan pajak, tanggung jawab itu cenderung disematkan pada konsumen.

Kedua, dimensi sosial-ekonomi. Rantai produksi makanan melibatkan banyak elemen signifikan yang perlu disebutkan antara lain petani yang menghasilkan makanan. Dengan kata lain, jika makanan yang dimaksudkan adalah nasi maka pihak atau elemen yang terlibat di dalamnya adalah petani, kondisi lahan, kondisi ekonomi politik harga beras (kebijakan ekspor dan impor beras), kondisi lahan, iklim, dan sebagainya. Dalam dimensi ini tersembul juga elemen konstitutif penanda relasi sosial dan pembagian peran. Maksudnya, proses memproduksi makanan itu melibatkan banyak pihak dengan peran strategis masing-masing orang. Bukan hanya dalam hal produksi. Dalam cara kita mengkonsumsi makanan, tersembul juga peran strategis. Tidak berhenti di situ, makanan dan aktivitas menyantap makanan menggambarkan status sosial sekaligus sebagai sarana orang bercakap-cakap atau mengkomunikasikan nilai dan pesan. Makanan, dengan demikian, menjadi simbol penting dalam rantai penandaan (chain of signification).

Ketiga, dimensi religiusitas yang menganalisis secara cepat bagaimana manusia memperlakukan makanan dan sejauh mana signifikansi sampah makanan (food waste) dalam kehidupan manusia. Tidak berhenti di situ, makanan juga menggambarkan sejarah hidup atau tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Karena alasan itulah, maka ada kelompok masyarakat yang pantang menyantap jenis makanan tertentu. Atau ada komunitas masyarakat yang berpuasa makan pada periode waktu tertentu. Patut direnungkan sedemikian rupa bahwa berbeda dengan jenis sampah lainnya, membincangkan sampah makanan berarti berbicara tentang kehidupan manusia dan segala dimensinya. Disebut demikian karena sampah makanan adalah gambaran terdekat dari buruknya penghargaan manusia terhadap hal paling esensial dalam hidupnya: makanan.

Keempat, dimensi ekologis yang menyoroti dampak lingkungan yang ditimbulkan dari proses produksi makanan hingga paska-konsumsi. Dimensi ekologis berbicara tentang pemanasan global yang dihasilkan baik melalui proses produksi maupun konsumsi makanan. Catherine Ivanovich, kandidat PhD dari Columbia University ketika meneliti dampak perubahan iklim dalam proses produksi makanan menjelaskan menyimpulkan bahwa “konsumsi makanan adalah sumber utama emisi gas rumah kaca (GHG) dan mengaevaluasi dampak pemanasannya di masa depan sangat krusial untuk memandu mitigasi iklim”. Dalam studinya, ia mempelajari kandungan gas makanan yang berasal dari 115 studi serta 206 estimasi penjabaran gas per satu jenis atau satu kelompok. Jika dunia terus memproduksi dan mengonsumsi makanan seperti sekarang, kata dia, sektor pangan saja dapat menyebabkan planet ini bertambah panas 0,9 derajat celcius (— cnnindonesia.com, 8 Maret 2023).

Limbah makanan yang sedang dipilah di Fasilitas Pemulihan Bahan Puente Hills, Los Angeles, Amerika Serikat. Los Angeles County menghasilkan sekitar 4.000 ton limbah makanan per hari. Foto : Sarah Reingewirtz/Star-News Pasadena/SCNG

Argumen di atas bukan sekadar asumsi semata. FAO mencatat, kira-kira sepertiga dari semua makanan yang diproduksi untuk konsumsi manusia, hilang atau terbuang percuma setiap tahun (FAO, 2014).  Secara global, diperkirakan 14 persen makanan yang bernilai sekitar 400 miliar hilang antara panen dan distribusi, 30 persen makanan terbuang itu setara dengan 1,3 miliar ton makanan, biaya ekonomi AS $1 triliun, biaya lingkungan sekitar AS $700 miliar, dan biaya sosial sekitar AS $900 miliar (FAO). Muncul paradoks di sini: jika makanan dianggap sebagai hal paling penting dalam hidup manusia, lalu mengapa sampai ada sampah makanan dan/atau food loss? (perbedaan dua konsep tersebut pernah saya bahas di sini: Apa yang Kita Bicarakan Ketika Kita Berbicara tentang Sampah MakananDibahasakan secara berbeda, bagaimana mungkin manusia menyebut tidak bisa hidup tanpa makanan tetapi justru membuang-buang makanan? Pertanyaan ini tentu sangat sederhana namun sebenarnya membersitkan makna yang paling penting dan signifikan tentang eksistensi kita sebagai manusia.

Berdasarkan riset media monitoring menggunakan big data newstensity milik PT Binokular, selama periode 1 -31 Maret, ditemukan sebanyak 1.012 pemberitaan terkait sampah makanan. Riset ini menggunakan kata kunci (keywords) “food lose”, “sampah makanan”, dan “food waste”. 

Pada periode tersebut, mayoritas isu yang diberitakan berhubungan dengan Mahasiswa ITS Suarakan Isu Food Waste Lewat Motion Comic (link). Eksposur pemberitaan mencapai puncaknya pada tanggal 30 Maret dengan topik dominan “Belajar Berdamai dengan Bumi Selama Ramadhan” berhubungan dengan bagaimana pengelolaan sampah makanan pada bulan puasa tersebut.

Preseden Buruk

Bagian paling menyedihkan dari temuan United Nation Environment Programme (UNEP) PBB pada tahun 2021 menobatkan Indonesia sebagai negara penghasil sampah makanan terbesar ke-3 di dunia sesudah Arab Saudi dan Amerika Serikat. Negara ini menghasilkan 20,93 juta ton sampah makanan setiap tahun (Pelita Baru, 16 Maret, p.6; BPS). Mengomentari temuan tersebut, Deputi Bidang Keawanan Pangan dan Gizi, Badan Pangan Nasional Nyoto Suwigno menegaskan bahwa kebiasaan membuang makanan justru akan menyakiti petani. “Food waste akan sangat menyakiti kerja keras petani selama menghasilkan pangan,” katanya (tempo.co). 

Food waste atau sampah makanan merupakan konsekuensi langsung dari tindakan manusia, dibandingkan dengan food loss. Diketahui bahwa food loss adalah hilangnya bahan makanan pada rantai pasok karena rusak sebelum sampai ke konsumen. Kerusakan bisa saja terjadi dalam perjalanan distribusi atau rusak akibat gagal panen. Sedangkan food waste mengacu pada perilaku konsumen yang tidak menghabiskan makanan dan berakhir di tempat sampah. Jakarta sendiri, kata Pengamat Sosial dari UI Devie Rahmawati, setiap tahun menyumbang sampah yang tingginya bisa mencapai dua kali gedung tertinggi di dunia, Burj Khalifa (beritasatu.com).

Economist Intelligence Unit (IEU) menurunkan laporan yang cukup mengagetkan. Indonesia ternyata memegang rekor kedua dalam hal banyaknya makanan yang terbuang. Setiap tahun, warga Indonesia membuang 300 kilogram makanan per orang. Ada pun peringkat pertama adalah Arab Saudi (427 kg). Riset Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian tahun 2019 memberikan gambaran lebih rinci. Di Jabodetabek, total makanan yang dibuang oleh setiap rumah tangga rata-rata mencapai 28 kg per orang per tahun. Jenis makanan yang paling banyak dibuang adalah sayuran (7,3 kg), nasi (2,7 kg), dan selebihnya adalah lauk-pauk seperti tempe, tahu, daging dan ikan (— subscribtion).

Alih-alih mengatasi sampah makanan, Indonesia justru berada di peringkat ke-73 dari 116 negara dari data Global Hunger Index 2021 yang menunjukkan tingkat kelaparan yang moderat. Mengajukan alternatif solusi, Devie mengusulkan kepada Kemendikbudristek agar memasukan materi sampah makanan atau food waste ke dalam kurikulum pendidikan. Hal itu, kata dia, dalam rangka membiasakan anak hidup tetap sasar dan tidak boros serta tidak mengulangi kekeliruan generasi sebelumnya yang berkontribusi terhadap sampah-sampah makanan.

Allih-alih meningkatkan produksi beras di dalam negeri misalnya, Indonesia disebut malah merencakan impor persis di tengah berbagai jenis kegiatan panen raya yang justru dilakukan oleh Presiden Joko Widodo di berbagai daerah. Sepanjang Bulan Maret misalnya, terdapat sebanyak 6.709 pemberitaan tentang Panen Raya yang dilakukan Presiden Jokowi di berbagai daerah dengan lokasi terbanyak di Ngawi, Kebumen, dan Maros-Sulawesi Selatan.

Sumber: Dashboard Newstensity

Bagian paling ironis dari temuan ini yakni Indonesia memutuskan untuk mengimpor beras persis di tengah gencarnya pemerintah menunjukkan aktivitas panen raya. Tidak berhenti di situ. Panen raya menjadi tidak relevan dalam keseluruhan analisis persis ketika Indonesia menjadi negara dengan food loss atau pangan yang rusak dengan skala cukup tinggi mencapai 30%.

Gambar 1: Radar Semarang, 02 Maret 2023, p.2. Gambar 2: Tribun Jabar, 13 April 2023, p.3

Buruknya tata kelola, bukan hanya di bidang persampahan tetapi juga di bidang manajemen paska pangan membuat Anggota Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Marsudi Wahyu Kisworo menekankan pentingnya teknologi paska panen (voi.id) diantaranya mekanisme penyimpanan yang tahan lama. Artinya, antara problem persampahan dan ketahanan pangan, terdapat carut marut kebijakan yang tak saling berhubungan. Kementerian Lingkungan Hidup coba mewujudkan Indonesia bebas sampah melalui program “Indonesia Bersih 2025” yang didasarkan pada PP Nomor 97 Tahun 2017 tentang Strategi Pengelolaan Sampah Rumah Tangga namun tidak ditemukan kerangka kerja yang bersinergi dengan kementerian atau stakeholder lain. Ego sektoral seperti ini tentu bukan hal baru dalam cara pemerintah menjalankan negara. Alih-alih merevisi cara pandang dan cara mengurus negara, sorotan penyelesaian diserahkan sepenuhnya kepada warga negara yang tampak dalam salah satu isu dominan pada periode ini.

Momentum Ramadhan

Isu food waste pada periode ini dihubungkan dengan konteks Ramadhan. Side message muncul dalam kampanye “Belajar Berdamai dengan Bumi Selama Ramadhan”. Argumen ini diungkapkan oleh Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah Hening Purwati Parlan yang menyarankan agar bulan Ramadhan hendaknya membantu orang untuk menahan diri terhadap apa pun yang merusak dan menimbulkan dampak negatif dan dosa diantaranya kebiasaan mencemari lingkungan. Inisiatif itu bisa diwudukan misalnya dengan Gerakan Green Ramadhan sebagai gerakan mengurangi sampah makanan ada saat buka puasa dan sahur (republika.co.id). Sekjen MUI bidang Hukum dan HAM, Ikhsan Abdullah mengatakan bahwa masyarakat tidak boleh berlebihan saat berbuka puasa agar makanan tidak mubazir. “Rasulullah memberikan tuntutan makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang,” katanya (beritasatu.com). Argumen yang sama juga ditegaskan oleh Direktur Kewaspadaan Pangan dan Gizi Bapenas Nita Yulianis yang menyebut bahwa indeks konsmsi pangan saat bulan Ramadhan cenderung meningkat (rri.co.id).

Masih berkaitan dengan konteks Ramadhan, muncul temuan lain yang cukup mengejutkan. Survei HCC menyimpulkan bahwa 7 dari 10 responden tidak berniat mengurangi makanan berlemak selama puasa. Penemuan itu dilansir daagiu Basrowi menjelaskan bahwa dari 2.531 responden dengan rentang usia 20-69 tahun (82% perempuan, 18% laki-laki) yang mayoritas tinggal di daerah perkotaan tidak berniat mengurangi makanan yang mengandung minyak olahan serta sumber makanan yang mengandung lemak selama bulan puasa. Sedangkan 8 dari 10 responden tidak berniat untuk makan lebih banyak ikan untuk buka puasa dan sahur (kumparan.com).

Dalam rangka mengatasi penumpukan sampah makanan pada bulan Ramadhan, ditetapkan berbagai jenis mekanisme kebijakan politik di berbagai daerah, diantaranya larangan membeli takjil menggunakan tas kresek sekali pakai di Surabaya. Wawan Some Koordinator Komunitas Nol Samaph di Surabaya mengatakan bahwa pihaknya terus melakukan kampanye. Disebut demikian karena menyitir laporan DLH Surabaya, sampah warga Surabaya yang masuk TPA Benowo sehari mencapai 1.500-1.600 ton. Jumlah itu, kata dia, bisa meningkat 100-200 ton pada Bulan Ramadhan (— Subscribtion). Sementara itu, di Kabupaten Serang, dalam satu hari bisa menghasilkan sampah sebanyak 383 ton selama bulan puasa (pikiran.rakyat.com).

Tidak berhenti di situ, dalam kaitannya dengan metode sosialisasi atau literasi food waste, salah seorang mahasiswa DKV Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Zahirah Salma Nuha dalam tugas akhirnya berupa karya motion comic coba mengangkat tema edukasi food waste dengan judul “Tapak Sena” dengan harapan substansi yang dikemasnya mudah dipahami oleh anak-anak (— Subscription).

Sementara itu, muncul juga inisiatif yang coba memanfaatkan sampah makanan sebagai pupuk kompos yang dihubungkan dengan ketahanan pangan. CEO Kebun Kumara Siti Soraya Cassandra misalnya, mengatakan bahwa pintu masuk Kebun Kumara untuk mengajak orang membuat kompos adalah berkebun. Hal itu ia sampaikan dalam acara Hari Kompos di Lapangan Banteng, Jakpus, Minggu (26/2) lalu. (— Subscription). Selanjutnya, inisiatif secara kolektif muncul di kalangan para ibu di Sleman Yogyakarta. Pemkab Sleman bersama sejumlah pihak disebut menggagas program Mama4Planet atau ibu untuk planet guna mengatasi masalah sampah rumah tangga. Kegiatan ini dilatarbelakangi oleh kondisi darurat sampah di DI Yogyakarta, khususnya di Kabupaten Sleman. Kepala DLH Sleman Epiphana Kristiyani menejaskan bahwa sampah rumah tangga yang dibuang ke TPA Piyungan sebanyak 340 ton per hari. Dari 70 persen sampah yang ada, yang terbesar merupakan sampah rumah tangga dan 60 persen diantaranya merupakan sampah organik (— Subscription).

Sumber: Instagram Radar Jogja

Gerakan kolektif juga muncul dalam Gerakan Ibu Asaka (Atasi Sampah Keluarga) yang diinsiasi oleh Komunitas Peri Bumi, sebuah komunitas yang digagas pada tahun 2021 oleh Yasmina Hasni. Fokus utama pengentasan soal, menurut organisasi ini berada pada sosok seorang ibu (perempuan). Disebut demikian karena ibu merupakan sosok sentral yang memainkan kebijakan utama tentang urusan domestik, sosok yang punya pertimbangan untuk memilih apakah menggunakan bahan plastik atau non-plastik, serta memutuskan jenis limbah rumah tangga apa yang mau dikelola dan berapa banyak jumlah limbah yang dihasilkan (mediaindonesia.com).

 

Sinkronisasi Resolusi Personal dan Intervensi Kebijakan

Meskipun demikian, inisiatif-inisiatif yang sudah disebutkan di atas tidak akan cukup jika tidak diikuti dengan penerapan kebijakan politik yang mengingat dan bersifat holistik. Disebut demikian karena problem sampah makanan bukan hanya menjadi masalah individual melainkan sudah menjadi problem politik negara. Dengan menjadikannya sebagai masalah politik, ini butuh intervensi kebijakan yang menyeluruh. Bagian paling penting ini cenderung luput dari cara kita mengelola bukan hanya masalah sampah melainkan juga cara kita mengurus dan menjalankan roda pemerintahan sebuah negara. Penetrasi neoliberalisme yang berlebihan membuat semua soal sosial politik cenderung diprivatisasi, dengan meletakan akar bukan pada mode produksi korporasi melainkan pada kekeliruan gaya hidup warga negara. Tanpa upaya membongkar beroperasinya ideologi seperti ini, sampai kapan pun masyarakat tetap dianggap sebagai akar soal persampahan mulai dari buruknya kebiasaan menjaga lingkungan hingga rendahnya sumber daya manusia.

Meskipun demikian, tanpa harus meletakan tanggung jawab sepenuhnya pada negara, insiatif-inisiatif yang sudah disebutkan di atas bisa menjadi presenden baik bagi perubahan perilaku hidup setiap orang khususnya pembaca. Berikut ini terdapat beberapa mekanisme sederhana yang bisa ditiru dan dilakukan secara personal.

 

Word Cloud Media Sosial

Apa yang Harus Dilakukan?

Pertama, mengubah cara pandang. Disebut demikian karena pada umumnya, problem utama pengelolaan sampah baik secara kelembagaan maupun secara personal atau mandiri justru terhambat oleh cara pandang yang keliru. Sedikit sekali ditemukan cara pandang yang melihat sampah sebagai sesuatu yang berguna atau bermanfaat dari sudut kegunaan yang lain. Dalam rubrik Kompas 10 Maret 2023 diceritakan pengalamann seorang warga Kecamatan Ilier Timur II, Palembang Ruslina yang memanfaatkan sampah sebagai bahan baku industri kreatifnya.

Bagian ini juga termasuk menumbuhkan kebiasaan untuk menghabiskan makanan agar tidak ada sisa makanan yang terbuang secara percuma. Pada umumnya, kebiasaan tidak menghabiskan makanan dipengaruhi oleh kecenderungan “lapar mata” atau ketiadaan pilihan rasional. Sebut saja mengkonsumsi ayam goreng di McDonald atau memilih menyantap makanan yang sama di warung di pinggir jalan. Tentu saja, pilihan tersebut sangat politis karena sudah dipengaruhi oleh persepktif orang terhadap apa yang ia makan. Dengan kata lain, selalu ada pilihan ideologis dan rasional ketika orang memilih menu apa yang ia santap. Keliru memahami hal ini, kadang orang tidak sanggup menghabiskan apa yang sudah ia mulai santap. Bisa jadi orang makan karena ada nilai prestige dalam makanan, untuk membedakan sekaligus menegaskan status sosialnya dengan orang lain.

Sumber: @sabrineegoodwin

Kedua, belajar cara menyimpan makanan. Masih berhubungan dengan bagian pertama, kebiasaan menyimpan makanan sangat bergantung dari kecerdasan memilih jenis makanan yang ingin dikonsumsi. Artinya, jika ingin mengkonsumsi makanan yang bersifat mendesak, jangan membeli makanan yang cepat membusuk dan tidak tahan lama. Sementara itu, jika ingin membeli makanan yang akan dikonsumsi pada masa mendatang, perlu dipikirkan mekanisme penyimpanan yang tepat agar makanan tersebut tidak mudah membusuk dan terbuang sia-sia.

Ketiga, rencanakan bagaimana caranya mengelola sampah makanan. Kecerdasan untuk mengelola sampah makanan membutuhkan pengetahuan yang baik. Oleh sebab itu, perlu dibiasakan mencari tahu bagaimana mengelola sampah makanan termasuk bahan dan cara yang diperluakan.

Keempat, buat menu mingguan agar terhindar dari kecenderungan membuang makanan yang tidak sempat dikonsumsi.

Kelima, cari informasi berkaitan dengan donasi maknanan. Salah satu inisiatif berhubungan donasi makanan misalnya yang berlangsung di Makassar di mana HERO Group melalui unit bisnisnya Hero Supermarket berkolaborasi dengan FoodCycle Indonesia untuk memperluas titik dropbox donasi makanan (— Subscription).

Keenam, beli roti atau jenis makanan dengan diskon. Hal ini tentu sangat relevan dengan mahasiswa seperti saya yang cenderung mencari makanan yang murah namun baik kualitasnya. Selain menghindarkan diri dari kebiasaan membuang makanan, membeli makanan dengan diskon akan menghemat anggaran belanja dan uang yang ada bisa dimanfaatkan untuk menabung atau membelanjakan hal lain yang juga penting. 

Jika teman-teman tertarik untuk mengikuti challenge terkait pengelolaan sampah, silakan daftar dan ikuti di sini ya.








Yohanes W Hayon
Malas makan, rakus membaca, minder bertemu perempuan cantik, dan ingin menjadi dongeng

Baca juga

Post a Comment

Arsip Juara Kompetisi