SKT dan Masa Depan Tenaga Kerja Padat Karya

Post a Comment

 


Urgensi

Industri rokok di Indonesia memasuki masa di mana ada pertentangan ideologis antara industri kesehatan dan sektor ekonomi yang menjadi penopang kehidupan finansial para pekerja, bukan hanya di bidang pertembakauan namun juga di bidang industri kreatif seperti musik dan promosi. Gejala ini bukan hal baru mengingat Indonesia merupakan salah satu negara penghasil tembakau terbesar nomor enam di dunia, setelah Cina, Brazil, India, USA dan Malawi dengan jumlah produksi sekitar 136 ribu ton atau sekitar 1,91 persen dari total produksi tembakau dunia. 

Indikator itu disebabkan oleh potensi negara ini yang memiliki  provinsi penghasil tembakau kualitas baik dan terbesar seperti, Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat. Di Jawa Timur  ada lima kabupaten sebagai sentra penghasil tembakau terbesar dalam skala nasional seperti, Jember, Probolinggo, Bojonegro, Pamekasan dan Situbondo.

Dalam Film Gadis Kretek misalnya, kita diberi pemahaman tentang sejarah perkembangan dan kemunduran Industri tembakau di Indonesia secara keseluruhan. Film ini juga membahas secara gamblang kejatuhan industri kretek bertepatan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Selanjutnya, kinerja industri ini semakin tiarap persis ketika diterbitkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai (link).

Metodologi Riset Media

Bertolak dari urgensi di atas, menggunakan big data milik PT Binokular, artikel ini berupaya menemukan sejauh mana media massa membahas industri Pertembakauan di Indonesia khususnya segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT). Ada pun kata kunci yang digunakan dalam memfilter pemberitaan yakni: “Sigaret Kretek Tangan”, “SKT”, “Kretek Tangan”, “Segmen SKT”, dan “Segmen Sigaret Kretek Tangan”. Periode monitoring dilakukan selama 10 bulan (Januari-Oktober 2023). Dari hasil crawling enggine, ditemukan sebanyak 1.387 pemberitaan yang membahas topik SKT.

Sumber: Dashboard Newstensity

Sementara itu, untuk mengetahui top isu yang dibahas selama periode tersebut, dapat dilihat melalui word cloud di bawah ini. Secara umum, terdapat tiga isu utama: Pertama, pembahasan tentang kenaikan tarif cukai rokok. Kedua, pemberian BLT melalui skema DBHCHT. Ketiga, penyerapan tenaga kerja yang sangat signifikan di bidang SKT yang umumnya didominasi oleh kaum perempuan. 

Wordcloud Pemberitaan. Sumber: Dashboard Newstensity

Berdasarkan sumber persebaran berita, komunitaskretek.or.id merupakan media online dengan jumlah pemberitaan terbanyak, diikuti kontan.co.id, dan bisnis.com. Sementara itu, Bisnis Indonesia menjadi media cetak dengan pemberitaan terbanyak, diikuti Kontan dan Radar Mandalika. Sementara itu, Menkeu Sri Mulyani menjadi spokeperson yang paling banyak dikutip pernyataannya oleh media massa, terutama berkaitan dengan isu kenaikan tarif cukai sebesar 10%.

Sumber: Dashboard Newstensity

Kontroversi Tarif Cukai

Ulasan ini dimulai dengan kontroversi sekaligus polemik yang muncul setelah Kemenkeu menetapkan tarif cukai sebesar 10% untuk tahun 2023 dan 2024. Topik ini penting karena selama periode riset, kontroversi tarif cukai cenderung menjadi pemberitaan dominan dengan mayoritas perspektif justri berasal dari sudut pandang pemerintah dibandingkan sudut pandang pekerja tembakau. 

Kenaikan tarif dalam lima tahun terakhir bisa dilihat dalam chart di bawah ini:

Kenaikan tarif tersebut muncul dari upaya Kemenkeu yang menargetkan adanya penerimaan negara dari cukai sebesar Rp256,1 triliun yang tercantum dalam RAPBN 2024 (link). Meskipun demikian, proyeksi penerimaan negara yang disusun tidak dengan mempertimbangkan dampaknya di lapangan dari banyak aspek, justru kontraproduktif. Berdasarkan kajian Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), peraturan terhadap industri hasil tembakau yang dibuat oleh pemerintah sudah cukup memberatkan. Dampaknya sudah terlihat dari jumlah pabrik rokok yang mengalami penurunan dari 4.669 unit usaha pada tahun 2007 menjadi 1.100 di tahun 2022 (link). 

Dengan kata lain, kebijakan kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar 10 persen pada 2023-2024 justru akan membuat rokok murah mengalami peningkatan konsumsi. Selain itu, kenaikan CHT justru tidak efektif dalam mendongkrak penerimaan negara. Bandingkan misalnya data berikut: Penerimaan CHT sampai akhir Juli 2023 sebesar Rp111,23 triliun, lebih rendah 8,93 persen bila dibandingkan dengan tahun lalu pada periode yang sama (yoy) (link). Itu berarti, pemerintah perlu menyelamatkan industri SKT dari kenaikan cukai yang terlalu tinggi melalui kenaikan cukai nol persen. Disebut demikian karena Insustri SKT itu kecil-kecilan sehingga sensiti dengan tekanan kebijakan (link). 

Selain problem tarif cukai, muncul juga masalah lain yang berhubungan dengan RPP Kesehatan. Muncul penolakan dari berbagai pihak terutama pada klaster menyamakan rokok dengan kategori narkotika. Ini sangat aneh! Tidak heran jika muncul penolakan di berbagai daerah, terutama datang dari para pekerja. Penolakan muncul diantaranya dari sebanyak 11.176 pekerja rokok yang mewakili 77.500 pekerja rokok yang ada di Kabupaten Kudus yang dengan tegas menolak RUU Kesehatan pasal 154 ayat 3.

Kontribusi di Sektor Tenaga Kerja

Mengapa mereka menolak regulasi RPP Kesehatan tersebut? Jawabannya: suka atau tidak suka, industri ini memainkan peran penting dalam hal menyerap tenaga kerja yang sangat signifikan. Bahkan, segmen ini mampu memberikan porsi yang sangat maksimal bagi kaum perempuan. 

Dalam audensinya dengan pekerja di fasilitas produksi sigaret kretek tangan (SKT) di Probolinggo misalnya, Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menyebut  HM Sampoerna misalnya, yang telah memiliki 2.400 karyawan ternyata masih menambah penyerapan 1.300 tenaga kerja untuk fasilitas SKT-nya di Probolinggo (link).  Kita tahu, Probolinggo merupakan salah satu daerah terbesar penghasil tembakau di Jatim. Selain Probolinggo, daerah lain yang juga menjadi perhatian serius yakni di Kudus. Kota ini terkenal memiliki 92 perusahaan rokok besar baik dalam skala besar dan menengah maupun keci. 

Mencermati potensi itu, Pj Bupati Kudus Bergas Catursasi misalnya, berkomitmen untuk menjaga dan melindungi tenaga kerja industri SKT. Disebut demikian karena industri yang ada di daerahnya mampu menjadi kontributor ekonomi dan sosial yang utama. Pada bagian lain pembicaraannya, Catursasi menyebut bahwa kehadiran KST di Kudus justru meberikan harapan persis di tengah ketidakpastian serapan tenaga kerja di sektor lainnya. Hal itu terjadi karena kehadiran SKT juga memberikan multiplier effect diantaranya melalui pertumbuhan aktivitas ekonomi lainnya di area sentra tembakau. Contohnya, dengan adanya SKT, terdapat banyak pedagang yang membuka usaha kuliner dan warung. Dalam rangka menjaga dan melindungi pekerja, Pemkab Kudus juga memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diperoleh dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Pada 2022 misalnya, Pemkab mengalokasikan Rp13,07 miliar dari DBHCHT untuk program jaminan kesehatan penduduk termasuk pekerja SKT (link).

Penegasan tentang pentingnya peran pekerja di sektor ini muncul juga dalam argumen yang disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI), Sudarto. Menurut Sudarto, industri SKT memang layak diberikan perlindungan dari pemerintah atas kontribusinya secara sosial dan ekonomi. Para pelinting misalnya, mampu menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya ke tingkat yang lebih tinggi (link). 

Selain elemen pemerintah, perhatian yang cukup signifikan juga muncul dari korporasi yang bergerak di bidang industri rokok diantaranya Sempoerna. Direktur Sampoerna Elvira Lianita mengaku bangga bahwa pekerja sigaret kretek tangan (SKT) Sampoerna didominasi oleh perempuan-perempuan hebat yang mayoritas mengemban peran ganda sebagai tulang punggung keluarga. Saat ini, kata dia, Sampoerna dan 38 Mitra Produksi Sigaret (MPS) mempekerjakan lebih dari 71 ribu karyawan, dengan tenaga kerja SKT mewakili sekitar 85 persen dari total keseluruhan tenaga kerja Sampoerna. Jumlah ini menunjukkan penambahan sekitar 5.000 tenaga kerja dibandingkan tahun lalu (link). Meskipun demikian, terdapat beberapa tantangan serius diantaranya yang paling dominan yakni Penerapan Cukai dan RPP Kesehaatan yang mengatur mekanisme promosi dan iklan rokok sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya.  

Diketahui, mayoritas setoran Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu bersumber dari cukai rokok. Saku ini juga menjadi penyumbang kas negara terbesar kedua setelah pajak. Sebut saja, Sigaret Kretek Tangan Mesin (SKM) Golongan I dan II masing-masing naik 11,8 persen dan 11,5 persen. Kemudian Sigaret Kretek Tangan (SKT) Golongan I dan II masing-masing 5%, sedangkan SKT golongan III 4,3%. Munculnya aturan terkait kebijakan cukai dalam mengendalikan konsumsi dan mengoptimalisasi penerimaan negara justru memengaruhi performa produksi. Apalagi terjadi peningkatan tarif di mana pada tahun 2022 dengan tarif Rp676 per batang meingkat Rp699 per batang pada tahun 2023 (link).

Diketahui, kenaikan tarif cukai rokok diumumkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk tahun 2023 dan 2024 masing-masing 10%. Secara umum dapat dilihat di bawah ini: 

Apa yang Harus Dilakukan?

Pertama, Pentingnya kolaborasi antarkementerian dalam merumuskan regulasi. Bagian ini penting karena selama ini ada kecenderungan satu kementerian lebih dominan dalam penyusunan dibandingkan kementerian atau lembaga lain. Seolah-olah ada kesan bahwa dengan cara itu, dapat meninggalkan legacy. Artinya, riset mesti menjadi landasan utama penyusunan aturan, dalam hal ini, RPP Kesehatan.

Kedua, Mempertimbangkan bahwa segmen SKT menjadi penggerak perekonomian masyarakat, regulasi yang disusun pemerintah perlu mempertimbangkan aspek sosial dan politik, daripada melulu pertumbuhan ekonomi nasional, sementara pada saat yang sama justru menghasilkan distribusi ekonomi yang tidak adil. Aspek sosial menjadi bagian penting karena dominan pekerja yang menggeluti SKT justru kaum perempuan dan industri padat karya seperti ini justru menjadi segmen yang paling aman dan menjanjikan di tengah ketidakpastian bursa tenaga kerja di Indonesia. Dengan kata lain, mengapa pemerintah justru abai terhadap potensi ini dan malah sibuk menghabiskan banyak energi memikirkan penciptaan lapangan kerja baru? Artinya, segmen SKT yang sensitif terhadap gender ini perlu diakomodir kepentingannya.

Ketiga, Keterkaitan Industri Temabaku dengan Ekonomi Kreatif. Sepakat dengan argumen Pengamat IHT, Willem Petrus Riwu, bunyi bab dari pasal produk tembakau dalam RPP Kesehatan seharusnya didominasi oleh pasal-pasal yang bersifat edukasi dan sosialisasi, bukan hanya larangan yang justru akan menciptakan pelemahan industri, PHK, penurunan produktivitas petani tembakau dan cengkih, hingga imbas terhadap industri yang secara tidak langsung berhubungan dengan tembakau, seperti industri kreatif, media, periklanan, dan sebagainya (link). Apalagi, di dalam dunia digital hari ini, RPP Kesehatan justru bedampak negatif bagi pelaku perdagangan berbasis digital atau online dan tentu saja mengancam mata pencaharian petani tembakau serta mengancam masa depan jutaan anak-anak yang orangtuanya bergerak di sektor pertembakauan.

Yohanes W Hayon
Malas makan, rakus membaca, minder bertemu perempuan cantik, dan ingin menjadi dongeng
Newest Older

Baca juga

Post a Comment

Arsip Juara Kompetisi