Surat Lamaran Kaul yang Misterius

Post a Comment
Tujuh bulan kemudian, setelah ia menyelesaikan masa Tahun Orientasi Pastoralnya di Harian Umum Flores Pos, di Ende, Hans mengikrarkan kaul kekal. 

Semacam sebuah janji untuk hidup taat, murni, dan miskin demi kerajaan Allah. Kemudian, setelah menjalankan kuliah teologi dengan pendekatan kontekstual selama dua tahun, Hans ditahbiskan menjadi seorang diakon. 

Selanjutnya, tahbisan imam akan menyusul setelah masa praktek diakonat dijalankan selama enam bulan. Jika semuanya itu sudah ia lewati, Hans resmi menjadi seorang imam dalam Serikat Sabda Allah (SVD).

Dari dalam sebuah kamar, Hans duduk merenung. Membayangkan semuanya itu, rasanya hidup berlalu terlampau cepat. Padahal, baru dua jam lamanya pemuda itu duduk bergeming di depan meja belajar. 

Sebuah rak buku berwarna coklat terletak tepat di samping pintu masuk. Beberapa koran harian Flores Pos tampak tercecer di mana-mana. 
Pada pintu, ditancapkan sebuah paku panjang sekitar tujuh sentimeter. Di sana, tergantung jubah. Pakaian berwarna putih itu biasa ia kenakan ketika hendak mengikuti perayaan Ekaristi pada hari Minggu. 

Lamat-lamat, ia alihkan pandangannya ke atas meja. Ratusan ekor semut berbaris rapi. Memanjang dari sisi timur ke arah barat. Agak melengkung mirip aliran sungai. 
Di sisi kanan meja, puluhan jilid buku tersusun meningkat. Satu buku di atas buku yang lain. 
Di sampingnya tergeletak sehelai kertas mirip surat. Pada sudut kiri atas surat tersebut, tertera kepada siapa surat itu dialamatkan. 

Berulangkali pemuda itu pandangi rangkaian huruf yang tercetak di atasnya. Ditulis dengan gaya Times New Roman berukuran 12 dan dengan spasi 1,5 sudah menjadi alasan yang lebih dari cukup untuk menyimpulkan bahwa surat tersebut sifatnya resmi. 

Kepada si pengirim, Hans memang pernah menulis sebuah surat lamaran. Akhirnya, surat tersebut dibalas dengan penekanan bahwa lamaran kaulnya ditolak. 

Dengan kata lain, ia dikeluarkan dari frater. 

Titik.

***


Suasana rapat berlangsung sengit. Silang pendapat datang dari berbagai arah. 
Masing-masing peserta rapat mengajukan argumentasi dan membeberkan dalil-dalil. 
Sementara itu, pemimpin rapat tampak berpikir keras. Sesekali ia memijat keningnya yang berkerut. 

Meskipun ruangan tersebut ber-AC, tampak bulir-bulir keringat bercucuran di wajahnya. Di kalangan peserta rapat dan hampir semua orang di wilayah itu, ia dikenal begitu bijaksana. Tutur katanya ketat dan memesona. 

Bahkan, menurut penuturan beberapa orang, langkah kakinya begitu hening sejajar dengan gaya bicaranya. Konon, diceritakan pula bahwa setiap keputusan yang dibuat, terlebih dahulu ia pertimbangkan seperti apa efek lanjutnya. 

Pada hari ini, sebelum suasana rapat semakin riuh dan nyaris kacau, orang tua itu bangun dari tempat duduknya. Ia melangkah sejenak dan berdiri di depan jendela. Sambil menarik nafas dalam-dalam, ia lemparkan pandangan ke luar ruangan melalui kaca. 

Melihat itu, semua peserta serentak diam. Beberapa yang lain masih terus berbicara namun dengan berbisik.

“Kita berdiskusi dalam terang Roh Kudus,” ujar orang tua itu dengan tetap tidak mengalihkan pandanganya ke luar.

Di dekat jendela memang ada sebuah taman bunga. Beberapa tangkainya menjulur ke atas. Melekat di dinding bangunan. Seekor kumbang melintas di depan matanya. 

Lima detik kemudian, hewan itu hinggap pada salah satu kembang mawar yang tampak mekar. Lalu, kembali terbang entah ke mana. 

Orang tua itu memalingkan wajahnya sebentar. Di atas meja kerjanya, ada sebuah vas berisi bunga plastik. Tidak ada kumbang di sana. 

Tiba-tiba ia merasa begitu sedih.



“Bagaimana pendapatmu tentang Hans?”
Ia bertanya seolah-olah sudah tahu seperti apa jawab yang akan mereka berikan.

Seseorang lalu mengacungkan jari telunjuk. “Ia anak yang baik. Sayangnya, orang yang menyukai seni kadang cenderung sulit dipahami.”

“Ada yang lain?” orang tua itu kembali bertanya.

“Dia tidak cocok menjadi seorang imam. Kegiatan komunitas jarang ia terlibat. Bagaimana mungkin orang seperti itu bisa menjadi seorang imam yang baik? Jangan sampai dia buat malu serikat nantinya,” ujar seseorang yang lain. 

Dari postur tubuhnya, ia kelihatan cukup kurus. Bentuk mulutnya seperti ban sepeda yang kempes. Beberapa helai rambutnya mulai beruban. Di dalam kalangan tersebut, ia terkenal kritis dan tipikal tidak kenal ampun.

Mendengar komentar tersebut, sang pemimpin rapat hanya mengangguk sambil menyengritkan dahinya sekali lagi. Mimiknya menunjukkan betapa saat itu ia sedang berada dalam konteks paling dilematis. Ia tidak ingin jika suatu saat nanti keputusan yang dihasilkan dalam rapat tersebut ternyata pincang.

Sejurus kemudian, satu per satu peserta mulai angkat bicara. Ramai-ramai kehidupan harian Hans mulai dibahas. Di samping kesan optimis, ada juga yang meragukan motivasi dasar mengapa Hans ingin menjadi seorang imam.

“Jangan-jangan anak itu hanya sekadar ingin menyenangkan keluarganya saja.” Seseorang lain lagi mulai berbicara.

Sementara itu, sang notulis tampak sibuk mencatat. Tidak jarang ia memberi isyarat agar peserta memperlambat pelafalan ketika berbicara. Notulis tersebut tidak ingin hasil pertemuan dan pertarungan ide dalam diskusi, ada yang luput dari catatannya.

Diskusi semakin alot bahkan memanas. Setiap peserta dalam ruangan itu tahu. Mereka berbicara karena dorongan Roh Kudus. Artinya, bukan mereka yang memutuskan. Tetapi dengan perantaraan mereka, Tuhanlah sang pengambil keputusan sejati. 
Kira-kira seperti itulah keyakinan mereka. 

Sekalipun pada suatu hari nanti, di suatu tempat yang sama sekali belum mereka ketahui, Hans sedang berdoa. Telah berjam-jam lamanya pemuda itu menangis di depan sebuah salib yang tergantung pada dinding kamar. Hatinya kacau. Pikirannya buntu. Tak ada siapa-siapa yang datang. 
Sekadar mengetok pintu kamar atau mengucapkan salam pun tidak. Ia merasa begitu sendirian. Ia lalu menumpuk buku bacaannya betingkat-tingkat. 

Di atas buku tersebut, Hans berdiri. Dengan kedua tangan memeluk Kitab Suci, ia menjulurkan sepasang kakinya ke depan. Ketika tumpukan buku tersebut tercecer ke lantai dan tubuhnya seperti melayang, Hans tersenyum menang. 
Ia membayangkan dirinya sedang melakukan sebuah perjalanan kembali ke Ledalero.

***

Delapan belas tahun kemudian, ketika Gereja dan ratusan tempat ibadah membiak bagaikan jamur, seseorang ditemukan tewas. Begitu juga dengan tahun-tahun berikutnya. 

Di atas meja sang korban, tergeletak sehelai kertas yang berisi tentang lamaran kaul yang ditolak. 
Sejak Hans, surat tersebut telah memakan korban ratusan orang, hingga saaat ini.
Ende, 22-23 Mei 2016.





Yohanes W Hayon
Malas makan, rakus membaca, minder bertemu perempuan cantik, dan ingin menjadi dongeng

Baca juga

Post a Comment

Arsip Juara Kompetisi