Paskah yang 'Political' dan Yesus yang Hegemonik

Post a Comment

 
Wayang Wahyu (Tribunnews.com)

Iman selalu politis. Omong kosong kalau orang beriman demi iman itu sendiri—masturbasi religius. Jika ada orang seperti ini, saya teringat akan Karl Marx yang mengkritik kecenderungan kaum beragama yang ia sebut sebagai reifikasi. Maksudnya, alih-alih menggunakan simbol sebagai representasi Wujud Tertinggi (baca: Tuhan), orang terjebak pada pemujaan atas simbol-simbol dan melupakan substansi atau alasan mendasar mengapa ia melakukan pemujaan. 


Idolatria semacam ini menjangkiti hampir semua pemeluk agama formal di Indonesia. Parahnya, simtom tersebut merembes ke wilayah politik. Bukannya melihat pejabat negara sebagai tokoh politik, publik cenderung terlena oleh permainan citra sumir yang tentatif dari media seperti blusukan, perceraian, busana yang dikenakan, dan bukannya jenis program pemberdayaan apa yang menjadi prioritas agenda politiknya.


Karena iman itu politis, tidak mungkin mengakui Allah tanpa bekerja bersamaNya. Itu berarti, merayakan Paskah tidak semata-mata hanya mengenangkan peristiwa kebangkitan Yesus dari mati. 


Logika ortodoksi harus dijadikan ortopraksis. Maksudnya, Paskah sebagai perayaan iman mesti dimaknai sebagai salah satu dari sekian segmen pergerakan politis Yesus. Tanpa berkarya di tengah masyarakat, disalibkan, wafat dan bangkit, pengalaman iman Paskah menjadi timpang. 


Lalu, apa hubungannya dengan politik? Menjawabi pertanyaan ini, saya sengaja tidak menggunakan landasan teologi dogmatik. Sebaliknya, dalam perspektif ahli politik radikal Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe dan teologi politiknya Slavoj Žižek, izinkanlah saya mendepersonifikasi Yesus menjadi sebuah “gerakan hegemonik”.


Yesus yang Hegemonik

Laclau dan Mouffe dalam buku mereka berjudul Hegemony & Socialist Strategy: Toward a Radical Democratic Politics menjelaskan, hegemoni merupakan konsekuensi dari artikulasi diskursif dari elemen atau kelompok sosial tertentu yang mendominasi artikulasi elemen atau kekuatan sosial tertentu yang berlangsung secara terus menerus dalam ranah sosial. 

Dengan kata lain, artikulasi diskursif yang dilakukan oleh elemen atau kekuatan sosial tertentu dalam masyarakat yang memandang dirinya lebih lemah dari kekuatan sosial yang mendominasi artikulasi diskursif dapat disebut sebagai hegemoni tandingan atau kontra hegemoni (1985: 105). 


Nah, dalam konteks ini, gerakan yang dijalankan oleh Yesus dapat disebut sebagai hegemoni tandingan terhadap kekuasaan yang memproduksi artikulasi diskursif yang dominan pada waktu itu. 


Mengapa Yesus tidak memilih orang Farisi atau ahli Taurat sebagai pengikut-Nya dan sebaliknya malah memilih nelayan, petani, pemungut cukai, dan orang ‘berdosa’, adalah salah satu bukti bahwa justru kelas sosial seperti inilah yang harus berjuang melawan sistem yang diskriminatif. 


Karena perjuangan itu dilakukan dalam bentuk hegemoni dan bukan revolusi berbentuk perang berdarah-darah, kekuatan wacana menempati peran sentral. Wacana dalam bentuk artikulasi diskursif yang selanjutnya dikonversi melalui bahasa merupakan kunci utama pewartaan Yesus. 


Penggunaan istilah “ikan”, “anggur”, “anak domba”, “lubang jarum”, “talenta”, “orang miskin”, merupakan bentuk representasi kehidupan kelas bawah. 
Dibahasakan secara lain, Yesus sebenarnya memainkan peran yang sangat populis dalam arti yang sebenarnya: seni merepresentasikan demands of populism, kebutuhan masyarakat banyak—bukan populisme sebagai sistem ideologi.


Lebih jauh, gelombang populisme yang melanda negara-negara dengan sistem pemerintahan demokrasi, sebenarnya mereproduksi kegelisahan paling mendasar yang pernah muncul dalam gerakan hegemonik Yesus dari Nazareth ini. Singkatnya, populisme muncul sebagai respon terhadap krisis representasi. 


Coba bandingkan dua model representasi ini yang, meskipun tidak seimbang secara historis, namun memiliki basis epistemologis yang sama: Yesus sebagai tokoh yang merepresentasi harapan bangsa Israel dan anggota DPR yang menjadi representasi konstituen di Dapilnya masing-masing. 


Kategori terakhir, jika ditelusuri lebih jauh, muncul pertanyaan: apakah Anda pernah mendengar, anggota DPR memperjuangkan aspirasi dari warga Dapilnya? Atau mengenai persoalan human trafficking di NTT, pernahkah ada anggota DPR-RI dengan daerah pemilihan NTT yang menyampaikan keprihatinannya di pusat, selain Komnas HAM dan akademisi universitas atau LSM/NGO?


Kolektivitas dan Neoliberalisme

Mengimani bahwa Yesus adalah Tuhan otomatis menunjukkan bahwa Dia bisa membuat apa saja sesuai dengan kekuatan Ilahi yang dimiliki-Nya. Termasuk mengkudeta kaisar atau membubarkan pemerintahan yang sedang berkuasa pada waktu itu. 


Tetapi mengapa hal itu tidak Ia lakukan? 


Sekali lagi, dari perspektif politik, hegemoni tandingan hanya bisa bekerja jika ada kolektivitas. Dikatakan demikian karena formasi hegemonik tidak terjadi secara spontan melainkan hasi kerja kepemimpinan moral dan intelektual. 


Artinya formasi hegemonik dengan sendirinya meliputi pengorganisasian kekuatan-kekuatan sosial yang berfungsi sebagai ‘penanda mengambang’ (floating signifier) sehingga menghasilkan hubungan-hubungan diferensial dalam suatu totalitas struktural (Sunardi, 2012: 13). 


Pengorganisasian ini dijalankan menggunakan logika ekuivalensi atau logika persamaan (logic of equivalence). Logika persamaan ini meliputi cara orang mengelompokkan unsur-unsur yang sama (ekuivalen) sehingga bisa menjadi sebuah totalitas struktur dengan identitas tertentu. 
Singkat kata, logika ekuivalensi adalah logika yang digunakan dalam rangka menghadapi musuh bersama.


Dalam konteks Yesus, musuh bersama itu diformulasikan sebagai kekuasaan yang diskriminatif. Tidak heran, setelah memilih para muridNya yang berasal dari kelas pekerja, 
Yesus tidak menghujani mereka dengan ajaran moral atau kursus kilat mengenai politik. Sebaliknya, karena kesamaan kelas sebagai identitas yang subordinat itulah, Yesus berkata, “Mari, ikutlah Aku.” 


Ajakan semacam itu mau menunjukkan bahwa keberhasilan transfer pengetahuan terjadi pada level learning by doing. Dengan alasan itulah, sepeninggal Yesus, kiprah para muridNya sungguh mencengangkan.


Situasi menjadi runyam ketika pengikut Yesus zaman ini sulit memformulasikan sikap politiknya sebagai orang beriman. 


Apalagi, berkembangnya neoliberalisme dan kapitalisme, menyebabkan nilai kolektivitas kian terancam. 


Ramai-ramai orang meninggalkan Gereja karena merasa yakin bahwa iman itu urusan privat. Orang jadi lupa bahwa selain aspek personal, iman mengandung aspek komunal. 


Begitu pula dalam konteks multikulturalisme; kehidupan bersama tidak lagi dilandasi how to live in difference tetapi pada how to live with difference


Pada yang terakhir, orang hanya sekadar menghayati kosmopolitanisme. Ada dalam satu ruangan (space) yang sama tetapi tidak saling berkomunikasi. 


Hasilnya, perbedaan hanya dirayakan di atas panggung festival busana adat dan makanan lokal atau seminar nasional tentang toleransi, tetapi absen dalam arena perjuangan kelas. Jujur, saya heran. Orang mengadakan seminar tentang toleransi tetapi pihak yang diundang bukan mereka yang dianggap intoleran. Lha, kalian hidup baik-baik selama ini, buat apa adakan seminar toleransi? 

Coba sesekali ajaklah kelompok tertentu yang terlanjur diklaim sebagai pihak intoleran seperti FPI atau OPM dan coba dengar aspirasinya. Saya jamin akan jauh lebih mendidik.

BukankahYesus, sebelum wafat di salib membangun dialog dengan orang yang dianggap penyamun?

Menutup tulisan ini, saya teringat akan bukunya Slavoj Žižek, The Monstrosity of Christ: Paradox or Dialectic (2009). Pada salah satu chapter, diterjemahkan secara bebas, “Ya Allah, Mengapa Engkau Meninggalkan Aku”, Žižek menyebut momen itu sebagai saat di mana Yesus menjadi ragu-ragu dengan rencana kesalamatan dari Allah. 


Meskipun agak terburu-buru dengan menyebut Yesus pada akhirnya menjadi atheis, tafsiran Žižek ini punya implikasi serius: keragu-raguan merupakan bagian dari proses beriman. 


Meragukan, mempertanyakan, mengevaluasi, dan merumuskan kembali hal yang menjadi problem dasar dalam hidup adalah bagian dari apa yang disebut Žižek sebagai pembentukan subjek politik. 


Itu berarti, merayakan Paskah, merayakan HUT Kemerdekaan RI, dan aneka perayaan kultus lainnya mesti diikuti dengan sikap mempertanyakan kembali apa-apa yang dirayakan.
Tanpa proses semacam itu, iman dan politik hanyalah konsep yang lebih pantas disimpan di dalam laci almari.

Yohanes W Hayon
Malas makan, rakus membaca, minder bertemu perempuan cantik, dan ingin menjadi dongeng

Baca juga

Post a Comment

Arsip Juara Kompetisi