Teknik Menulis Politik dan Politik Menulis

Post a Comment
Saya suka menulis sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas di Hokeng, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
Seperti iman yang bertumbuh berdasarkan perbenturannya dengan kenyataan, demikian juga aktivitas menulis.

Pada awalnya, saya menulis demi memuaskan hasrat untuk disebut “pintar”. Motivasi itu tentu lumrah dalam masyarakat yang bertumbuh dan berkembang dalam tradisi lisan seperti Flores Timur. Bersamaan dengan berlalunya waktu dan dibenturkan dengan berbagai jenis pengalaman hidup yang erat dengan ketidakadilan, kekeliruan tata kelola birokrasi, motivasi itu terkesan ganjil bagi saya.

Saya lalu memutuskan untuk menulis sebagai cara menyampaikan kritikan dan sebisa mungkin menawarkan solusi terhadap situasi gamang yang saya jumpai. Pembaca bisa menemukan itu dalam berbagai tulisan genre fiksi yang saya hasilkan sebelum saya berpindah fokus pada non-fiksi.


Selain itu, saya juga sudah menghasilkan dua buku yaitu satu buku fiksi (kumpulan cerita pendek) berjudul Tuhan Mati di Biara (Nusah Indah: Ende, 2016) dan satu buku nonfiksi (kumpulan esai) berjudul Mencari yang Pintang Menugur yang Terguncang (Rua Aksara: Yogyakarta, 2019).

Tentu saja, penjelasan di atas tidak bermaksud menyombongkan diri. Apalagi kuantitatif, produktivitas menulis saya tidak menunjukkan hasil yang mencengangkan. Itu diperparah dengan konsistensi yang tidak memuaskan.

Meskipun demikian, gambaran di atas mau menunjukkan satu hal penting: perubahan motivasi menulis, dari yang sangat individual menjadi kolektif dan kolegial, membuat sebuah tulisan bersifat politis. Dimensi itulah yang menyebabkan tidak ada tulisan saya yang lahir dari hasil permenungan individual dalam sebuah kamar atau ruang pribadi. Sebaliknya, tulisan itu dihasilkan setelah berdiskusi dengan banyak orang dari berbagai latar belakang.

Ini saya lakukan karena ada tidak ada tulisan yang tidak politis. Mengapa? Ya karena manusia adalah makhluk politik yang senantiasa bertumbuh dan berkembang dalam dan di bawah pengaruh masyarakat.

Sumber foto: Strive3.com

Apa Itu Menulis Politik? 

Pertama, menulis politik sepenting pengetahuan. Baik dari jalur Michel Foucault dan Georges Canguilhem (tradisi epistemologi kritis Prancis) maupun dari tradisi Sosiologi Pengetahuan Jerman (Karl Mannheim), kita mendapatkan tesis yang kebenaran historisnya nyaris tak terbantahkan itu: keterkaitan antara politik dan pengetahuan (knowledge) dan/atau ilmu-ilmu pengetahuan (sciences). Tidak ada pengetahuan a priori maupun a posteriori, teoretis maupun praktis yang tidak politis. Hal ini karena satu alasan: karena netralitas ilmu adalah ilusi.

Hal yang sama juga ditegaskan oleh Pramoedya Ananta Toer,

Aku menulis, bicara, berbuat, tidak pernah khusus untuk diri sendiri, langsung atau tidak, tak ada seorang seniman berseni untuk diri sendiri, masturbasi. Ada faal social di dalamnya, makin dikembangkan faal social itu semakin baik. Tidak ada orang makan untuk makan.

Sekali lagi, netralitas, bukan objektivitas. Ilmu dapat objektif tetapi ia tidak pernah netral. Ia mesti berpihak atau mengimplikasikan keberpihakan baik secara langsung atau tak langsung.

Kedua, menulis artinya mengambil posisi (take position). Berkaitan dengan poin pertama, menulis juga berarti mengambil posisi sekaligus berpihak dalam sebuah masalah yang sedang dihadapi.

Kepada apa atau siapa ilmu pengetahuan berpihak?

Sekali lagi, Pram menjawab dengan nada mengingatkan,

“Dan bagi saya, keindahan itu terletak pada kemanusiaan, yaitu perjuangan untuk kemanusiaan, pembebasan terhadap penindasan. Jadi keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusaan, bukan dalam mengutak-atik bahasa”.

Namun, surga tak pernah ditakdirkan terjadi di bumi.

Selalu ada jurang yang dalam antara das sein dan das sollen. Dari Karl Marx, Antonio Gramsci, Michel Foucault, dan pemikir Marxis lainnya, kita mengerti bahwa membincangkan keberpihakan selalu mengandaikan dua kelompok kelas: kelas penguasa dan kelas yang dikuasai. Kelompok kelas terakhir inilah yang diharapkan menjadi alasan utama keterlibatan kaum cendekiawan.

Ketiga, karena menulis itu politis, implikasinya yakni Anda menulis untuk orang lain, bukan hanya untuk diri Anda sendiri.

Memang, Anda harus selalu menulis untuk diri sendiri, dulu. Tulis apa yang terasa jujur. Tulis pengalaman Anda. Tuliskan apa yang membuatmu menangis. Apa yang membuatmu takut dan memberikan dirimu harapan akan masa depan yang lebih baik. Biarkan semuanya tumpah. Kemudian baca draf tulisan Anda untuk melihat bagaimana hal itu dapat membantu orang lain.

Ingatlah bahwa pembaca menyukai kisah yang menginspirasi atau menghibur daripada kisah yang menyalahkan diri sendiri. Jadikan kisah hidup Anda yang paling memalukan sebagai bacaan yang menyenangkan atau pelajaran hidup. Singkatnya, menulis untuk orang lain.

Politik Menulis: Apa Mekanismenya?

Bertolak dari tiga hal di atas, ketika duduk di bangku kuliah di STFK Ledalero, Maumere, NTT, orientasi menulis saya berubah. Perubahan itu saya sebut sebagai politik menulis. Konsep di atas dapat saya artikan sebagai mekanisme tertentu yang saya tetapkan sebelum menulis sesuatu.

Perubahan itu terjadi dalam tiga wilayah yakni: perubahan tema, perubahan teknik dan gaya menulis, dan perubahan tujuan menulis dan segmentasi pembaca yang berdampak pada penggunaan berbagai platform menulis.

Pertama, perubahan tema dilakukan dalam rangka menjawabi kebutuhan dunia yang juga berkembang. Pada masa-masa awal, saya menulis menggunakan tema khusus yakni teologi politik. Menggunakan teologi politik sebagai pisau analisis memungkinkan saya menemukan apa saja pengaruh teologi terhadap cara manusia menginterpretasi dan mengubah dunia. Perspektif ini sudah digunakan oleh banyak pemikir dan teoretisi antara lain Carl Schmitt, Giorgo Agamben, Antonio Negri, Jacques Derrida, dan lain-lain.

Mengingat tema seperti itu cenderung eksklusif, saya lalu mengubah haluan dengan menjadikan ekonomi politik, geopolitik, dan biopolitik sebagai perspektif dalam menganalisis sebuah fakta sosial. Saya akan menjelaskan tiga konsep di atas pada kesempatan lain.

Kedua, perubahan teknik dan gaya menulis. Hal ini dilakukan mengingat menulis bukanlah demi menulis itu sendiri. Ada pembaca yang ingin dituju dari setiap jenis tulisan apa pun.

Mempertimbangkan aspek itulah, menulis butuh teknik dan gaya. Teknik berhubungan dengan bagaimana mengorganisasi sebuah argumentasi ke dalam kalimat, sub judul, dan seterusnya. Sementara itu gaya berhubungan dengan pemilihan kata (diksi) dan teknik penuturan. Pembaca menyukai tulisan dengan gaya bertutur mirip kisah.

Ketiga, perubahan tujuan menulis dan segmentasi pembaca. Ada dua jenis tujuan menulis yang saya tetapkan yakni membuat pembaca berpikir di satu sisi dan membuat mereka mengambil tindakan di lain sisi. Hal ini penting karena tulisan yang baik hendaknya tidak berpretensi mengurui pembaca. Ada banyak pembaca yang mungkin jauh lebih cerdas dan luas wawasannya dari dirimu. Yang dapat Anda lakukan adalah membuatnya berpikir dan bertindak melalui tulisanmu.

Dua tujuan ini membuat saya memikirkan pentingnya menentukan segmentasi pembaca yang kemudian berdampak pada penggunaan platform menulis. Maksudnya, saya tidak mungkin mempublikasikan artikel panjang dan ilmiah di blog seperti saya memosting di akun instagram. Hal yang sama juga berlaku pada platform digital lainnya.

Tanpa harus terpaku terlalu lama pada perdebatan apakah menulis online jauh lebih penting daripada menulis di media cetak, tulisan ini berargumen bahwa menulislah sepanjang Anda tahu kepada siapa tulisan itu ditujukan.

Ketika saya memilih media digital (facebook dan blog) sebagai media penyampaian gagasan, bukan berarti saya meremehkan kekuatan media cetak. Sebaliknya, cara ini dipilih karena suka atau tidak, kategori usia, latar belakang ekonomi dan geografis, serta tingkat pendidikan sangat memengaruhi level keterpaparan orang pada platform media sosial.

Jika saya menulis tentang NTT misalnya, saya mengandalkan media online sekaligus media cetak karena alasan-alasan di atas.

Menulis Adalah Kerja Seni

Mengingat bahwa menulis adalah kerja seni dan seni tidak pernah selesai dikerjakan, menulis tidak pernah selesai dengan menulis.

Kebenaran argumen di atas terbukti bahwa dalam era digital ini, menulis saja belum cukup. Orang-orang yang membaca blog saya menikmatinya dan kembali lagi. Tetapi orang yang sama bertanya kepada saya mengapa jumlah pembaca dan pengikut media sosial saya sangat sedikit sedangkan konten saya sangat bagus?

Maksudnya sangat sederhana sekaligus sulit. Tulisan saya di media digital selalu berada di bawah pengaruh algoritma Google, tema blog yang responsive dan ringan, pemilihan gambar yang memikat mata dan tata letak yang mobile friendly.

Mengatasi hal tersebut, pada masa awal membuat blog misalnya, saya hanya mengandalkan teman-teman saya untuk membuat tulisan saya menjadi viral. Sampai pada suatu kesempatan, saya menyadari bahwa bagaimana pun juga, saya perlu menggunakan metode SEO untuk menambah jumlah pembaca. Selain itu, saya perlu mengeluarkan uang untuk membeli tema blog yang responsive dan mudah diindeks google termasuk menyeleksi gambar yang tepat untuk diposting. Mengenai semuanya itu, saya patut berterima kasih kepada teman-teman blogger saya di luar sana dan tips blogging mereka yang menyelamatkan saya ketika saya tidak tahu apa-apa.

Kesimpulannya: Temukan sendiri alat kata kunci yang bagus (saya menggunakan KeySearch) dan berinvestasi dalam blog yang bagus untuk kursus SEO pemula. Minta saran ngeblog. Bergabunglah dengan grup Facebook. Terapkan teknik SEO dan biarkan sistem bekerja.

Meskipun Anda dapat menjadikan blog Anda sebagai prioritas, Anda tidak boleh sepenuhnya mengabaikan kehadiran media sosial Anda.

Mengapa?

Karena tidak semua pembaca membaca blog lagi. Juga, media sosial adalah alat yang baik bagi pembaca untuk menemukan tulisan Anda. Beberapa jurnalis mungkin menemukan Anda dari tweet Anda. Facebook mungkin memberi Anda pembaca baru. Anda mungkin mendapatkan popularitas mendadak di Instagram karena akun populer di niche Anda mungkin menandai Anda suatu pagi yang cerah. Artikel Anda mungkin menjadi viral jika Incredible India menyukainya di Twitter. Anda dapat bekerja dengan merek yang menilai popularitas dan jangkauan blogger dari pengikut media sosialnya. Ada segala macam hal.

Jika Anda tidak aktif di akun media sosial apa pun, Anda akan kehilangan orang-orang yang bergantung pada alat ini untuk tetap terhubung dengan dunia. Tetapi pada akhirnya — Anda adalah bosnya. Putuskan apa yang paling cocok untuk Anda dan apa yang membuat Anda tetap waras.

Yohanes W Hayon
Malas makan, rakus membaca, minder bertemu perempuan cantik, dan ingin menjadi dongeng

Baca juga

Post a Comment

Arsip Juara Kompetisi