Membincangkan Risiko Tembakau bagi Anak-Anak

Post a Comment
Ada beberapa poin penting yang menjadi perhatian artikel ini ketika membincangkan risiko tembakau bagi anak-anak. Dalam rangka memudahkan pembahasan, risiko darurat perokok anak tersebut dibagi ke dalam dua bagian antara lain: 

Pertama, risiko lingkup privat yang berhubungan dengan dampak aktivitas merokok dalam skala kecil dan tertentu seperti kesehatan atau ekonomi personal dan keluarga. Kedua, risiko lingkup luas yang mencakup dimensi yang lebih umum seperti kelompok masyarakat, negara, serikat pekerja tembakau, dan pemerhati isu kesehatan anak dan perempuan, serta aktivis lingkungan bebas asap rokok.
Sumber gambar: pinterest
Mempertimbangkan dua risiko di atas, artikel ini ditulis dengan pertama-tama melakukan pemetaan soal yang berhubungan dengan korporasi tembakau baik itu produksi dan distribusi maupun konsumsi dan paska-konsumsi. 

Pemetaan tersebut perlu dibuat agar menghindarkan kita dari perbincangan yang melulu fokus pada seruan moral atau profetik tanpa adanya intervensi kebijakan ekonomi politik yang signifikan.

Dilema Produksi dan Distribusi

Diketahui bahwa industri tembakau bertanggung jawab atas kerusakan ekologis dan sosio-etis manusia. Pada kategori produksi, PBB mengungkapkan bahwa 600 juta pohon, 200ribu hektare lahan, 22 miliar ton air, dan 84 juta ton CO2 digunakan dalam produksi tembakau (UN, 31 Mei 2022). 

Laporan WHO bertajuk Tobacco: Poisioning Our Planet (Mei, 2022) menjelaskan bahwa jejak karbon proses produksi dan distribusi tembakau setara dengan seperlima CO2 yang dihasilkan industri penerbangan komersial setiap tahun. Dari 6 perusahaan tembakau besar dunia, Philip Morris International (PMI) sendiri menghasilkan 1,15 juta ton CO2 setiap tahun (Hendlin, 2019).

Tidak berhenti di situ, industri tembakau juga menyebabkan deforestasi karena sebagian besar tembakau ditanam di daerah hutan hujan. Pada tahun 2014 misalnya, produksi global enam triliun batang rokok merusak 4 juta hektare lahan suburban (Zafeiridou, 2018). 

Itu belum termasuk penggunaan pestisida dan zat beracun lainnya dalam proses budidaya dan pengawetan tembakau mengingat tanaman monokultur seperti ini rentan terhadap hama dan penyakit.
Anak-anak sedang mengisi tembakau secara manual di pabrik tembakau Rangpur, Bangladesh. Sumber foto: Reuters.
Risiko yang sama juga berlangsung dalam proses distribusi yang menghabiskan ongkos ekonomi, sosial, dan ekologis yang tidak sedikit. Dalam bidang ekologis misalnya, distribusi tembakau melibatkan industri transportasi yang menyumbang peningkatan konsentrasi emisi karbon dioksida (CO2). 

Selain itu, dalam sistem ekonomi neoliberal yang menjadikan logika profit sebagai capaian utama, cukup mustahil mengentikan penetrasi produk tembakau asing ke dalam negeri jika tidak diimbangi dengan kebijakan politik yang mengikat. Artinya, jika kesejahteraan petani tembakau sering dijadikan dalil utama mengapa kebijakan politik penurunan prevalensi perokok di Indonesia sulit terwujud maka dibutuhkan pengendalian atas impor produk tembakau luar negeri yang proses produksinya lebih banyak menggunakan tenaga non-manusia atau mesin.

Dilema Konsumsi dan Paska Konsumsi

Selain produksi, industri tembakau juga bertanggung jawab atas dampak buruk paska-konsumsi. Disebut demikian karena filter rokok terbuat dari selulosa asetat yang bersumber dari plastik membutuhkan waktu lama agar terurai. Ocean Conservancy pada tahun 2017 menempatkan puntung rokok pada urutan teratas dalam daftar barang yang paling mencemari, melebihi tutup botol, pembungkus makanan, kantong plastik, dan sedotan. 

Demikian pula Truth Initiative dalam laporan bertajuk Tobacco and the Environment, menunjukkan bahwa bahan kimia yang keluar dari satu puntung rokok melepaskan racun yang dapat membunuh 50% ikan air asin dan mencemari udara selama 96 jam. Bahkan, merokok juga dapat menyebabkan kebakaran hutan (Liputan6.com, TvOnenews.com, Jatim.iews.id, Tempo.co, Kompas.com). 
Jauh lebih penting dari itu, sementara sampah plastik lain menjadi sorotan publik, tembakau masih belum terlalu digubris oleh aktivis lingkungan.
Ilustrasi sampah puntung rokok. Sumber gambar: hai.grid.id
Selain itu, industri tembakau juga bertanggung jawab secara etis dan politis karena kontribusinya merusak generasi muda dan menyebabkan polarisasi dalam masyarakat. 

Generasi muda memang menjadi sasaran bertujuan dari industri ini. Tidak heran jika rencana Pemerintah Indonesia menurunkan prevalensi perokok remaja usia 10-18 tahun dari 7,2% pada tahun 2013 menjadi 5,4% pada tahun 2019 belum tercapai, bahkan meningkat menjadi 9,1% pada tahun 2018 (Riskesdas 2018). 

Industri ini juga menyumbang polarisasi melalui pembentukan gap “perokok” dan “bukan perokok” dalam berbagai ruang dan kesempatan. 

Akibatnya, masyarakat dibuat saling bertengkar satu sama lain dan melupakan akar soalnya padai industri rokok itu sendiri.
Akar Soal

Setelah membuat pemetaan di atas, diketahui bahwa problem industri tembakau sebenarnya berjalan beriringan dengan proses produksi, konsumsi, dan paska-konsumsi. Oleh sebab itu, alangkah tidak jujurnya kita jika membahas persoalan prevalensi perokok anak misalnya, tanpa membongkar mekanisme struktural yang menjadi tulang punggung semua industri, khususnya industri tembakau. Disebut demikian karena akar dari soal yang sedang kita hadapi saat ini yakni kuatnya intervensi neoliberalisme dalam proses ekonomi, sosial, poltik, dan kebudayaan kita.

Lalu, apa yang harus dilakukan?

Mengatasi hal tersebut, dibutuhkan kerja sama lintas sektor, dan bukan meletakkan tanggung jawab sepenuhnya hanya kepada kementerian kesehatan misalnya. Artinya, setelah memetakan soal di atas, kita menyadari bahwa problem meningkatnya prevalensi tembakau di Indonesia bukan hanya karena penduduk Indonesia sudah tidak peduli dengan kesehatan mereka. Lebih dari itu, ada banyak faktor lain yang menyebabkan mengapa aktivitas merokok lebih dipilih dibandingkan hal lain terutama untuk mengatasi soal yang mereka hadapi. 

Menemukan akar soal ini berarti kita juga sekaligus menjawab mengapa anak-anak memilih merokok untuk meningkatkan prestise atau kepercayaan diri dibandingkan belajar public speaking atau aktivitas intelektual lain; mengapa anak-anak lebih memilih merokok agar kelihatan gentle dibandingkan melakukan aktivitas lain guna meningkatkan kualitas diri sebagai pria sejati. Artinya, keterbatasan pilihan seperti itulah yang menyebabkan perbincangan terkait darurat perokok anak atau merokok di kalangan anak-anak dan remaja cenderung kurang menyasar aspek-aspek sosial, ekonomi, psikologis, dan kebudayaan.

Pertama, dalam rangka melakukan intervensi terhadap proses produksi, dibutuhkan kebijakan politik yang strategis dan taktis. Disebut strategis maksudnya, kebijakan tersebut memang benar-benar bersifat aksesibel dan mudah diimplementasikan di seluruh Indonesia. 

Kata aksesibel sangat penting di sini karena tidak semua jenis kebijakan skala nasional, mampu diterapkan secara signifikan di level daerah. Sementara itu, disebut strategis artinya kebijakan tersebut mesti mempertimbangkan beragam aspirasi yang berada di luar narasi kesehatan. Aspirasi yang dimaksudkan di sini yakni aspirasi yang datang dari para petani tembakau yang menjadikan industri tembakau sebagai sektor riil pendapatan ekonomi mereka. Hal ini penting mengingat jumlah pekerja di sektor ini tidak sedikit dan menjadi salah satu sektor penyumbang pendapatan terbesar bagi negara.

Kedua, masih berhubungan dengan poin pertama, diskusi ini fokus pada pro dan kontra revisi PP Nomor 109 Tahun 2012. Mengenai hal ini, diketahui bahwa meskipun sejak tahun 2012 Indonesia sudah memiliki PP Nomor 109 Tahun 2012, tapi implementasi regulasi ini terbukti gagal melindungi anak dari adiksi merokok dan menurunkan prevalensi perokok anak. Disebut demikian karena iklan, promosi, dan sponsor rokok (IPS) masih dibolehkan, akses rokok masih sangat mudah karena murah, dan perilaku merokok masih dianggap sebagai hal yang lumrah.

Bagian paling penting dari perdebatan tersebut yang cenderung luput dibahas yakni bagaimana intervensi pebisnis dan korporasi yang bersembunyi di balik wacana kesejahteraan petani. Tentu saja, kita mendukung kesejahteraan petani tembakau. 

Tetapi mekanisme kesejahteraan itu mesti diatur sedemikian rupa agar menghambat revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 tidak dianggap sebagai satu-satunya cara yang mesti diambil dalam rangka mendukung kesejahteraan petani tembakau.

Ketiga, regulasi berkaitan dengan rokok elektrik. Bagian ini sangat penting karena hadir persis di tengah asumsi publik, terutama generasi muda, yang beranggapan bahwa merokok elektrik tidak termasuk aktivitas merokok. Oleh sebab itu, dalam rangka menjaga keberlangsungan lingkungan hidup dan manusia, dibutuhkan kebijakan politik yang peka pada konteks ini karena dalam “Lost Funds: A Study on the Tobacco tax Revenue Gap in Selected ASEAN Country” (2021) terbitan SEATCA, tarif cukai tembakau di Indonesia adalah 54% dari harga pasar, lebih rendah dari standar minimal global 70% dan inilah yang membuat harga rokok di Indonesia selalu terjangkau dari waktu ke waktu. Lebih penting dari itu, kita perlu meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Hanya dengan cara itu, kita mampu mengendalikan produksi dan konsumsi rokok melalui penerapan cukai tinggi, peringatan kesehatan, larangan pemberian beasiswa pendidikan, hingga larangan iklan, promosi, dan sponsorship rokok.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK, Agus Suprapto ketika berbicara dalam acara Uji Publik Revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 di Gedung Herritage, Rabu (27/7/2022).
Akhirnya, jika ditanya mengapa topik ini penting untuk ditulis dan didiskusikan pada masa kini, jawabannya sederhana sekaligus urgen: masa depan bangsa Indonesia ada di dalam diri anak-anak dan darurat perokok anak mesti jadi konsentrasi kampanye kesehatan secara menyeluruh. Mengingat bahwa mens sana in corpore sano (di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat), mustahil membayangkan masa depan bangsa yang berdaulat jika mayoritas generasi mudanya sakit-sakitan.
Yohanes W Hayon
Malas makan, rakus membaca, minder bertemu perempuan cantik, dan ingin menjadi dongeng

Baca juga

Post a Comment

Arsip Juara Kompetisi