What We Talk About When We Talk About Singing

Post a Comment
Lagu adalah kata-kata bernada. Namun, tidak semua yang bernada dan tidak semua yang mengandung kata-kata, adalah lagu. Meskipun begitu, dilema ini tidak saya jelaskan secara rinci dalam ulasan ini.

Hal tersebut merupakan konsentrasi kajian dalam filsafat musik yang berupaya mempelajari sistem penandaan mendasar tentang sifat dan nilai musik serta pengalaman kita tentangnya. 

Sebaliknya, uraian ini lebih sosiologis karena berupaya melihat dan memahami sejauh mana peran sebuah nyanyian dalam kehidupan individu dan masyarakat.


Dua Perbedaan Utama


Uraian ini diawali dengan pembedaan mendasar antara bunyi dan nyanyian (lagu atau musik). Maksudnya, bagaimana pun juga bunyi cenderung bersifat monolitik atau tunggal dan satu arah. 
Sebaliknya, lagu adalah kompleksitas terorganisir dari bunyi atau gabungan dari berbagai bunyi yang variatif menjadi sesuatu yang harmonis.

Namun, perbedaan di atas belum cukup lengkap dijadikan sebagai definisi sebuah nyanyian. Disebut demikian karena ada begitu banyak contoh bunyi yang terorganisir yang bukan nyanyian seperti ucapan manusia dan suara yang dihasilkan dari mesin-mesin non-manusia. 

Lalu muncul pandangan lain bahwa keunikan nyanyian terletak pada komplesitas bunyi yang tergorganisir tetapi memiliki “tonalitas” atau fitur musik seperti nada, ritme, dimensi estetik.

Penjabaran ini juga terdapat dalam karya Jannere Bicknell bertajuk “In the Philosophy of Song and Singing: An Introduction”. 
Dalam buku itu, Bicknell mengakui peran penting suara manusia dan menunjukkan bagaimana lagu, penyanyi, dan nyanyian mengangkat isu ontologi, nilai, dan otensitas musik yang berbeda secara signifikan dengan “sekadar suara instrumen musik”.

Maksud Bicknell sangat sederhana dan signifikan dalam uraian ini. Tidak seperti alat musik--sekurang-kurangnya dalam pemahaman penulis tersebut--suara manusia itu bersifat khusus. 
Disebut khusus karena mereka bukan hanya mengirim lagu, tetapi juga menyampaikan rasa identitas kedirian, identitas sosial, dan emosi yang tidak dapat dilakukan oleh musik instrumental belaka.

Persis di situ, hemat saya, nyanyian adalah seni yang menyajikan teka-teki paling filosofis dan eksistensial.

Mengapa Penting?


Penjelasan di atas menunjukkan status nyanyian sebagai bagian yang integral dalam hidup manusia. Karena sifatnya yang integral itulah, cukup sulit menganggap nyanyian hanya sekadar hiburan belaka. Di bawah ini terdapat beberapa alasannya: 

Pertama, dimensi transformatif. Meskipun kebanyakan orang menganggap sebuah nyanyian sekadar hiburan semata, preferensi itu tidak keliru. Tetapi perlu dicatat bahwa jika kecenderungan itu dilembagakan, dimensi lain dari nyanyian perlahan kabur dan hilang. 

Dimensi yang dimaksud yakni bagaimana sebuah nyanyian dapat mentransformasi, bukan hanya individu tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Sayangnya, bagian paling penting ini belum menjadi fokus utama hampir semua musisi di Indonesia.

Kedua, dimensi politik. Bagian ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari dimensi transformasi sebuah nyanyian. Disebut demikian karena melalui sebuah nyanyian misalnya, kita dapat mengetahui apa emosi yang sedang dirasakan oleh pencipta atau penyanyi ketika syair-syair lagu itu dinyanyikan. Itulah mengapa lagu-lagu yang dinyanyikan kadang bersifat misterius dan lincah, pedih dan mendalam, atau sering membuat kita tertawa terbahak-bahak. 

Singkatnya, nyanyian adalah cermin bahwa kita, manusia, memiliki nalar dan hati. Bahkan makhluk hidup lain yang paling cerdas sekalipun, yang bahkan mampu menghasilkan bunyi terindah, tak mampu menciptakan lagu.

Sumber gambar: Pixabay

Pada konteks umum, nyanyian adalah quasi-moral, yang ditunjukkan melalui cara di mana ia direspon atau dihargai dalam masyarakat dan budaya tertentu sekaligus pada saat yang sama mencerminkan keadaan “jiwa” individu atau budaya itu. 
Bahkan, nyanyian memungkinkan kita berpartisipasi dalam ruang komunikasi dengan komposer atau persekutuan dengan anggota lain dari budaya musik yang sama (contoh: pecinta lingkungan).

Nyanyian Perubahan Iklim: Mengapa Kita Bernyanyi?


Meskipun terdengar agak konyol, tetapi pertanyaan tersebut penting untuk dijawab. Jawab itu dimulai dengan fakta bahwa kata-kata dalam nyanyian adalah mantra. 
Disebut demikian karena hingga kini kita sulit mengetahui apakah “Selamat Ulang Tahun” adalah lagu yang sama ketika dinyanyikan dalam Bahasa Prancis.

Fakta lain yakni sementara relatif sedikit orang mampu bermain alat musik gitar dan piano, hampir semua kita justru bisa bernyanyi. Memang ada begitu banyak alasan mengapa kita bernyanyi. 

Kita bernyanyi untuk orang lain karena ada penonton dan karena itu menuntut pengakuan, kita bernyanyi untuk diri kita sendiri karena itu adalah sarana partisipasi artistik. Dan kita dapat bernyanyi sebagai sarana untuk menyatukan kita dan sesama dalam pekerjaan, protes, dan doa.

Singkatnya, musikus selalu menemukan inspirasi kreatif dari zaman mereka hidup. Beberapa generasi musikus yang hidup dan tumbuh di era perubahan iklim yang belum pernah terjadi sebelumnya tidak heran jika unsur-unsur banjir yang meningkat, badai, panas, rawan pangan, dan logsong menuntu mereka menghasilkan semakin banyak lagu.

Paul Mc Cartney, mantan pendiri Band The Beatles misalnya, meminta pendengar untuk mengingat lebih banyak melalui lagu “Despite Repeated Warning” tentang suhu yang lebih tinggi, kebakaran, dan badai. 
Demikian juga lirik terkenal “The 3 R’s” karya Jack Johnson di bawah ini. Lirik yang sangat ramah anak dan sangat saya sukai.

Well, if you’re going to the market to buy some juice

Nah, jika Anda pergi ke pasar untuk membeli jus

You’ve got to bring your own bags

Dan Anda harus membawa tasmu sendiri

And you learn to reduce your waste

Dan Anda belajar mengurangi sampah

We gotta learn to reduce

Kita harus belajar mengurangi

Sementara itu, di Indonesia, pada tahun 2022 ini, Laleilmanino, Sheila Dara Aisha, HIVI! Dan Chicco Jerikho merilis lagu mereka berjuudl “Dengarlah Alam Bernyanyi”. 
Pesannya terlihat sangat jelas bahkan melalui judul yang dipilih. Bahkan selalu ada dimensi quasi-moral dalam lagu tersebut terutama dalam lirik “Bila kau lelah dengan panasnya hari/Jagalah kami agar sejukmu kembali.



Menutup ulasan ini, saya teringat sebuah artikel di New York Times edisi 21 Mei 2020 bertajuk “The HOT 10 Climate Songs” yang mencatat bahwa dalam dua dekade terakhir, setidaknya ada 192 lagu yang memuncaki tangga Billboard berhubungan dengan perubahan iklim dengan 26 lagu dirilis tahun 2019. 

Bahkan sebuah grup bernama “Music Declares Emergency” menyerukan kepada penonton di Inggris dan seluruh dunia untuk mencapai nol emisi gas rumah kaca paling lambat tahun 2030. Tagline mereka “Tidak ada musik di planet mati”.

Tentu saja ini peringatan sekaligus awasan penting bagi generasi hari ini. 

Beberapa tahun yang lalu, tepatnya tahun 2016, Wages Blood dalam “Generation Why” menawarkan penglihatannya yang menakutkan, “bukan masa lalu yang membuatku takut/sekarang betapa hebatnya masa depan ini”. 

Awasan yang sama juga kita temukan dalam salah satu lirik lagu “Dengarlah Alam Bernyanyi” di atas, “Bayangkanlah hidupmu/Bila tak ada kami”.

Teman-teman bisa mengunduh dan/atau mendengar lagu tersebut melalui YouTube, Spotify, dan Apple Music.

Sampai di situ, muncul kembali pesan penting dari uraian ini: Sebagai bentuk seni, nyanyian memiliki tanggung jawab untuk mencerahkan—bukan hanya menghibur.

O ya, Fyi, dengan mendengarkan lagu ini, secara tidak langsung teman-teman ikut berkontribusi untuk bumi, karena sebagian royalti dari lagu ini akan disumbangkan untuk konservasi dan restorasi hutan adat di Kalimantan.

#EcoBloggerSquad
Yohanes W Hayon
Malas makan, rakus membaca, minder bertemu perempuan cantik, dan ingin menjadi dongeng

Baca juga

Post a Comment

Arsip Juara Kompetisi