Pemberdayaan Ekonomi Kaum Perempuan Paska Pandemi

Post a Comment



Pandemi covid-19 adalah bahan belajar cepat bahwa selama ini sistem ekonomi kita dibangun tanpa keterkaitan konseptual dan paradigmatik dengan sektor lain dan cenderung terlampau fokus pada kebijakan moneter sambil mengabaikan urgensitas kebijakan fiskal. 

Dengan kata lain, praktik stimulus fiskal misalnya, tidak cukup hanya dengan memangkas tarif pajak, subsidi bagi buruh, transfer tunai kepada rumah tangga, dan pelbagai jenis bantuan langsung tunai; melainkan dengan menciptakan sebuah ekosistem inklusif termasuk relaksasi kredit di sektor riil bagi semua kalangan, terutama mereka yang rentan secara ekonomis.

Eksistensi Kaum Perempuan


Mempertimbangkan bahwa kaum perempuan merupakan kelompok masyarakat yang potensial di satu sisi namun rentan di sisi lain, pandemi ini mewajibkan kita untuk merevisi metode pemberdayaan ekonomi yang sifatnya tentatif menjadi berkelanjutan. 

Pertama, perempuan disebut potensial karena kontribusi mereka sangat memengaruhi pertumbuhan ekonomi ke arah yang positif sebagaimana yang diklaim McKinsey dalam laporan bertajuk Women Matter: Time to Accelerate. Atau kajian World Economic Forum (WEF) 2017 yang menunjukkan bahwa secara global, kesetaraan gender akan meningkatkan pertumbuhan domestik bruto (PDB) global sebesar US$ 5,3 triliun.

Kedua
, perempuan juga merupakan kelompok yang rentan secara ekonomi. World’s Development Report melaporkan bahwa perempuan adalah penghuni 50 persen dari populasi dunia namun hanya 40.8 persen yang bekerja di sektor formal (World Bank, 2013). 
Selanjutnya, pada masa pandemi ini, risalah ILO (Mei, 2020) mengklaim bahwa dari 2 miliar lebih pekerja yang mendapatkan penghasilannya di sektor ekonomi informal atau 62 persen dari semua orang yang bekerja di seluruh dunia, kaum perempuan lebih banyak terpapar pada sektor informal di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah, dan seringkali berada dalam situasi yang lebih berisiko dibandingkan rekan laki-laki mereka.

Di Indonesia, data BPS mencatat, meskipun jumlah penduduk usia kerja mengalami peningkatan sebesar 2,92 juta dibandingkan tahun lalu, TPAK perempuan justru mengalami penurunan menjadi 54,06 persen dibandingkan Februari 2019 yakni 55,50 persen (BPS, Februari 2020). 

Hal yang sama juga dipaparkan oleh Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) bahwa selama tahun 2011 hingga 2015, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan berada jauh di bawah laki-laki, yakni berkisar antara 48 hingga 51 persen sedangkan TPAK laki-laki hampir dua kali lipat mencapai 83 persen hingga 84 persen.

Rendahnya TPAK perempuan, diikuti masih dominannya kaum laki-laki di sektor formal merupakan tantangan yang cukup serius karena berdasarkan estimasi BPS (2018), pada tahun 2033, akan ada 150,3 juta perempuan dibandingkan 150,1 juta laki-laki, dan ini pertama kalinya jumlah perempuan akan lebih besar dari laki-laki di Indonesia. 
Fenomena ini butuh kerja sama lintas sektor karena kaum perempuan sebagai salah satu kelompok yang termarjinalisasi adalah kelompok yang dapat merefleksikan kondisi riil perekonomian Indonesia. 

Program Inklusi Keuangan dan Hambatannya


Persis di situ, program inklusi keuangan, diantaranya literasi keuangan, berperan penting dalam rangka memberdayakan ekonomi kaum perempuan. Istilah inklusi keuangan (financial inclusion) bersinonim dengan frasa inclusive financial system, yang berarti sistem jasa layanan keuangan yang bersifat universal. Dengan kata lain, sistem ini berupaya menciptakan suatu sistem jasa keuangan yang menjangkau semua kalangan, terutama mereka yang berpenghasilan rendah dan rentan termasuk kaum perempuan. 

Ini penting karena Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo dalam laman BI (Oktober 2018) mengingatkan bahwa porsi besar pelaku UMKM adalah perempuan, dan karena itu, literasi keuangan dapat membantu mengatasi ketimpangan jender dalam inklusi keuangan. 

Berbeda dengan jenis bantuan langsung tunai yang cenderung berorientasi konsumtif, keuangan inklusif bertujuan memberdayakan kehidupan ekonomi melalui pembinaan secara berkelanjutan agar mandiri dalam menjalankan kehidupan. 

Meskipun begitu, terdapat beberapa pokok soal mengapa inklusi keuangan bagi pemberdayaan ekonomi kaum perempuan cukup sulit dilaksanakan, antara lain:

Pertama, keterbatasan informasi maupun akses terhadap literasi keuangan, jejaring pengembangan usaha, dan layanan keuangan formal. 

Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan OJK pada tahun 2019 terhadap 12.773 responden di 34 provinsi di Indonesia, tercatat sebesar 76,19 persen dari total responden telah menggunakan produk atau layanan jasa keuangan formal berbagai industri keuangan. 

Meskipun begitu, tingkat inklusi keuangan dan tingkat literasi keuangan perempuan masing-masing sebesar 75,15 persen dan 36,13 persen. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan dengan tingkat inklusi keuangan dan tingkat literasi keuangan pria yaitu sebesar 77,24 persen dan 39,94 persen.

Kedua, ketidakadilan gender dalam budaya patriarki. 
Tentu saja, tidak terlalu adil jika memaksa perempuan dalam lanskap budaya tertentu untuk berkiprah di sektor formal sambil menyodorkan argumen rasional untuk mengabaikan pentingnya sektor informal. 

Namun, bagaimanapun juga, nyaris 80 persen urusan keuangan rumah tangga dikelola oleh kaum perempuan dan itu berarti hancur atau kokohnya keuangan sebuah rumah tangga sangat bergantung dari seberapa luas wawasan literasi keuangan kaum perempuan. 
Bukankah kesejahteraan keluarga adalah gambaran dekat kesejahteraan negara?

Ketiga, semakin banyaknya produk jasa keuangan, kemajuan di sektor teknologi, dan berubahnya struktur demografi masyarakat menuntut pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang aspek keuangan dan produk-produk jasa keuangan. 

Sayangnya, tidak sedikit kaum perempuan berpikir bahwa mereka tahu cara mengelola keuangan dengan baik. Padahal, sebenarnya, mereka hanya tahu cara mengelola keuangan mereka secara standar.

Keempat, program pendidikan keuangan adalah kegiatan yang masih berdiri sendiri dengan target program pelatihan yang masih terbatas, baik dalam frekuensi maupun cakupan. Padahal, perempuan membutuhkan banyak program yang dilakukan secara berkelanjutan dengan melibatkan pelbagai sektor.

 

Tiga Alternatif Matra Pembinaan


Mengatasi komplikasi permasalahan di atas, dibutuhkan kerja sama lintas sektor, lintas generasi, lintas disiplin ilmu, dan lintas geografis untuk menerapkan tiga matra pembinaan dengan melibatkan pemerintah, pengatur sektor keuangan atau Bank Indonesia, sektor perbankan, sektor keuangan, para mitra pembangunan (LSM), politisi, akademisi, budayawan, agamawan, dan tokoh masyarakat.

Pertama, matra pembinaan manusia khususnya kaum perempuan yang bertujuan meningkatkan kualitas sikap berwirausaha, profesionalitas dan kemandirian melalui pendidikan integratif. 
Di sejumlah negara, upaya peningkatan literasi keuangan dilakukan melalui jalur kurikulum sekolah formal baik di level dasar maupun pendidikan menengah. 

Dalam strategi ini, peserta didik belajar melek finansial melalui sejumlah mata pelajaran seperti pendidikan bahasa, ekonomi, matematika, kewarganegaraan, sains, dan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). 

Mewujudkan ini, tentu saja OJK berperan secara aktif dalam penerapan kurikulum dengan menjadi institusi utama yang bertugas melatih pada pendidik yang nantinya bertanggungjawab meneruskan informasi dan pengetahuan tentang sektor keuangan dan produk-produk jasa keuangan lewat mata pelajaran yang mereka ampu. Hal yang sama juga dilakukan dengan Pendidikan informal seperti pelatihan-pelatihan, kursus singkat maupun workshop,yang menyasar berbagai kelompok perempuan yang ada di masyarakat.

Kedua, matra bina usaha meliputi peningkatan pengetahuan teknis demi menunjang produktivitas, perbaikan mutu produk, meningkatkan efisiensi dan daya saing produk yang dihasilkan. Ini berkaitan juga dengan pengembangan jiwa kewirausahan, antara lain optimasi peluang bisnis berbasis keunggulan lokal, dan peningkatan aksesibilitas terhadap modal, pasar, dan informasi.

Ketiga, matra bina kelembagaan yakni tersedianya kelembagaan yang berfungsi efektif terutama dalam melakukan advokasi kebijakan yang berpihak pada perempuan. 

Menurut kajian Bank Dunia bertajuk “Algorithms for Inclusion”, ketika ingin melakukan peminjaman sebagai modal memulai atau eskpansi usaha ke bank, pengusaha perempuan di negara berkembang sering dihadapkan dengan birokrasi yang berbelit-belit diantaranya harus memiliki surat aset tidak bergerak, NPWP atau slip gaji, dan sulitnya mengakses bank bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil (Bank Dunia, Juni 2017). 
Meskipun sudah ada Layanan Keuangan Tanpa Kantor dari OJK namun layanan ini masih menggunakan bank konvensional sebagai agen dan terbatas pada pemberian rujukan kredit. 

Selanjutnya, perlu ada pengembangan sistem layanan perbankan lewat telepon untuk meningkatkan akses finansial di daerah terpencil yang bukan hanya memangkas biaya tetapi juga meningkatkan daya jangkau. 

Akhirnya, mempertimbangkan bahwa ketimpangan struktur politik, ekonomi, dan sosial budaya cenderung mengambat distribusi ekonomi dan peran yang seimbang antara laki-laki dan perempuan, dibutuhkan kerja sama lintas sektor. 
Kerja sama ini penting untuk memastikan perbaikan modal finansial, perbaikan modal fisik berupa sarana dan prasarana, perbaikan modal SDM melalui pendidikan dan kesehatan yang relevan dengan pasar kerja, pengembangan modal sosial, termasuk keterampilan, kelembangaan, dan kemitraan kaum perempuan.



Yohanes W Hayon
Malas makan, rakus membaca, minder bertemu perempuan cantik, dan ingin menjadi dongeng

Baca juga

Post a Comment

Arsip Juara Kompetisi